26

38 9 0
                                    

Langkah kaki Bajra tidak secepat sebelumnya. Dia kelelahan.

Ah, sebaiknya aku beristirahat lebih dahulu.

Anak bertubuh gempal itu duduk di bawah pohon. Kebetulan pohon tersebut rindang. Memang tidak sulit menemukan pohon yang tumbuh nan rindang di Batavia. Tidak jauh dari tempatnya duduk, pohon serupa tumbuh berjejer di pinggir kanal. Berbaris mengapit jalan raya yang membentang sejajar dengan kanal.

Aku lapar.

Hal tersebut juga membuat tubuhnya lelah. Dia berjalan jauh dari pinggiran kota hingga ke tengah kota yang ramai. Memang bukan perkara mudah bagi anak remaja yang biasa bergerak lambat. Jangankan berjalan jauh di bawah terik matahari, bahkan untuk sekedar berjalan kaki mengikuti kawanan domba di padang pengembalaan pun anak itu sering kewalahan.

Dalam keadaan demikian, senantiasa ada pengharapan yang tidak putus. Sebuah pengharapan yang berawal dari dorongan kebutuhan.

Ya, Alloh, hamba lapar. Berilah hamba makanan.

Sebuah doa yang sederhana, bukan doa yang muluk-muluk. Bajra tahu apa yang sedang dibutuhkannya kali ini maka dia pun meminta apa yang dibutuhkannya.

Memang bukan hanya Bajra yang duduk-duduk di bawah pohon. Banyak juga orang lain yang melakukan hal serupa. Ketika Bajra memperhatikan mereka, maka terlintas dalam pikirannya untuk berjalan mendekat.

Siapa tahu mereka berkenan memberi aku makanan.

Tetapi, rasa malu anak itu lebih besar dibandingkan keberaniannya. Karena itu, hanya ada dua pilihan. Menunggu ada orang yang memberi makanan atau menahan lapar hingga waktu yang tidak diketahui. Bajra pun hanya bisa menghela nafas, tangan kirinya memegang perut sedangkan tangan kanannya menyeka keringat.

Dalam beberapa saat, hanya itu yang bisa dia lakukan.

Hingga, matanya tertuju pada pemandangan yang tidak biasa. Punggung yang semula menempel di batang pohon, kini sedikit menjauh. Tubuhnya terdorong oleh rasa penasaran pada sesuatu di atas pohon lain di seberang jalan.

Seekor monyet?

Hewan itu menatap Bajra. Dia seakan tahu apa yang dirasakan anak remaja di seberang jalan.

Bagi Bajra, apa yang tengah dilihatnya bukan hanya seekor monyet. Tetapi, apa yang telah dilakukannya. Tangan si ekor panjang tengah memegang sebuah mangga. Entah dari mana dia memungut buah tersebut. Bajra tidak melihat ada pohon mangga di sekitar tempatnya beristirahat.

Anak remaja itu sumringah. Ada pengharapan dalam hatinya, monyet, maukah kau berbagi denganku.

Mungkin orang-orang akan merasa aneh dengan kelakuan Bajra yang berbicara dengan seekor monyet yang tengah makan di dahan pohon.

Tapi, ini satu-satunya cara agar aku bisa mengisi tenaga.

Awalnya, monyet liar itu tidak menganggap serius keinginan Bajra. Tetapi, nampaknya dia merasa kasihan kepada manusia yang memelas hanya untuk menikmati buah mangga dalam genggaman.

Si monyet melemparkan mangga di tangan.

Tentu saja Bajra tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kedua tangannya reflek menangkap mangga yang melayang di udara.

Memang bekas gigitan monyet, tetapi tidak apa dibandingkan harus mencuri. 

Bajra belum sempat berterima kasih kepada si monyet. Ketika kepalanya kembali mendongak, binatang liar itu sudah hilang dari pandangan. Mangga dalam genggaman benar-benar habis.

Lumayan, bisa menjadi obat lapar.

Sejenak, Bajra bisa tersenyum. Rasa lapar pun terobati. Pikirannya pun lebih jernih dari sebelumnya. Maka dia kembali memikirkan tujuannya berjalan jauh dari perkebunan tebu milik Tuan Johannes. Baginya, tidak ada lagi waktu untuk terus berdiam diri.

Aku harus segera sampai di kantor Koran Batavia.

Bajra berbalik badan. Bermaksud untuk menyeberang jalan.

Tetapi, dia terhalang oleh sebuah kereta kuda yang tiba-tiba saja berhenti tepat di depannya. Bajra tidak tahu siapa kusir kereta kuda tersebut. Dia pun tidak tahu siapa penumpang di dalam kereta kuda.

Pada awalnya, anak remaja itu heran kenapa kereta kuda berhenti tepat di depannya. Namun, keheranan tersebut berubah menjadi ketakutan.

Keluarlah dua orang lelaki dari sana. Tanpa banyak bicara, mereka berdua langsung meringkus Bajra tanpa basa-basi.

Bajra pun tidak berdaya untuk melawan. Mulutnya ditutup oleh sebuah tangan yang terasa besar di wajah Bajra. Sedangkan tubuhnya diangkat kemudian dimasukkan ke dalam kereta kuda.

Kejadian itu begitu cepat. Bajra tidak sempat berteriak untuk meminta tolong.

"Jangan berteriak, atau aku akan menggorok lehermu ...!"

Bajra tahu siapa orang yang mengancam dirinya. Dia duduk di bangku berseberangan, tangannya memang tengah menghunus sebilah golok. Sedangkan tubuh Panca diapit dua orang yang baru dikenalnya beberapa jam terakhir.

Bagaimana bisa mereka tahu keberadaanku?

"Kenapa? Kau heran kenapa aku bisa menemukanmu?" orang berpakaian jas putih serta celana putih itu seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Bajra. "Kau pikir, Tuan Johannes melepaskanmu begitu saja."

Bajra mengenal orang yang tengah bicara. Bukan hanya mengenal nama atau wajahnya saja, dia pun mengenal bagaimana perangai orang ini. Karena tahu akan sifatnya, rasa takut Bajra menjadi dua kali lipat ketika membayangkan apa yang akan dilakukan oleh orang tersebut.

"Tuan Burhan, ampuni saya."

"Eis, kau tidak layak untuk diampuni." Golok itu kembali didekatkan ke wajah Bajra. "Kau sudah dilepaskan oleh Tuan Johannes, bukan berarti kau sepenuhnya bisa bebas berkeliaran."

Bajra baru mengerti kenapa orang ini menculiknya. Ternyata, aku hanya pura-pura dilepaskan semata untuk mengelabui Nona Anna.

"He, sekarang, kau tidak punya siapa pun yang akan melindungimu. Tidak ada Anna, Tuan Eijkman atau siapa pun, kau kini sendiri."

Bajra hanya bisa terdiam.

Kereta kuda membawa mereka yang ada didalamnya melaju. Bajra tidak tahu dia akan dibawa ke mana. Hal yang bisa dipikirkan oleh Bajra betapa kecil kemungkinan jika Burhan akan membiarkannya hidup. Lelaki ini dikenal sebagai orang yang berhati dingin, dia bisa menyiksa orang tanpa ampun demi mencapai tujuannya.

Bajra bukan hanya mendengar desas-desus tentang betapa sadisnya pegawai pemerintah ini. Bajra pernah  menyaksikan sendiri bagaimana Burhan sanggup membakar orang hidup-hidup tanpa ampun gara-gara warga berbeda pendapat dengannya.

Karena alasan itu pula, Bajra semakin merasa tidak berdaya. Semua rencana yang telah disusun dalam kepalanya, kini buyar.

Maaf, Paman Abimana. Aku tidak bisa menyampaikan amanat darimu kepada Koran Batavia.

Sekali lagi, Burhan seakan tahu isi pikiran dari Bajra. "Aku tahu kau akan pergi ke mana. Kau hendak menemui orang di kantor Koran Batavia, kan?"

Bajra menggelengkan kepala.

"Lantas, kenapa kau tampak terburu-buru berjalan jauh dari perkebunan tebu hingga ke sini?"

Bajra tidak bisa menjawab.

"Katakan, sebenarnya apa hal yang ingin kau sampaikan kepada orang-orang di Koran Batavia?"

Bajra menggelengkan kepala.

"Apa isi pesan dari si Abimana?"

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang