Panca hanya bisa bersembunyi di balik pohon. Pohon itu tumbuh agak jauh dari Kantor Koran Batavia. Si anak remaja berkulit sawo matang merasakan ketakutan yang tidak biasa. Mengamati Burhan yang diikuti oleh anak buahnya, menyiratkan jika akan terjadi sesuatu yang membahayakan sahabat karibnya, Bajra.
Halaman kantor Koran Batavia dipenuhi begitu banyak orang. Tidak ada yang dikenali oleh Panca, kecuali Burhan, Si Penjaga, Si Pengawal dan seorang lelaki yang pernah dilihatnya di warung beberapa saat yang lalu.
Aku harus bagaimana?
Panca kebingungan sekaligus takut ketika melihat begitu banyak orang yang dilanda amarah. Mereka memamerkan golok di pinggang, bahkan beberapa diantaranya mengacungkan senapan.
Keadaannya semakin memburuk, aku yakin pasti Tuan Johannes memberi perintah kepada Burhan untuk berbuat buruk kepada Bajra.
Perkiraan Panca sungguh beralasan. Peristiwa sebelumnya, dimana Bajra mendorong Johanna hingga terjerembab ke dalam dasar sumur membuat Tuan Johannes sangat marah. Sebagai seorang tuan tanah, pria Eropa itu akan mengerahkan segala daya upaya untuk membalas dendam.
Sekaligus, Tuan Johannes ingin membalaskan rasa kesalnya kepada Koran Batavia yang telah menerbitkan artikel yang menghasut warga untuk berbuat keonaran di pabrik gula.
Pada saat seperti ini, Panca pun tidak tahu lagi harus berbuat apa dan meminta tolong kepada siapa. Keriuhan yang sedang disaksikannya sungguh menggetarkan hati dan membuat kalut pikiran. Saat seperti itu, sulit bagi orang dewasa sekalipun untuk bisa berpikir jernih.
"Nak, ada apa ini?" seseorang bertanya sambil menepuk pundak Panca. Suara orang itu terdengar begitu pelan.
"Anak buah Burhan ... maksudnya Tuan Burhan mengepung kantor Koran Batavia, Kek." Panca menoleh sambil memperhatikan dengan seksama orang yang menghampirinya. Kala itu tidak cukup cahaya untuk menerangi wajah orang tersebut. Panca hanya bisa melihat dia dari siluet tubuh orang yang tengah berdiri. Tubuh lelaki itu bongkok serta rambut kepalanya panjang dan dikepang.
"Suara keributan ini terdengar sampai ke Pecinan."
"Kita harus bagaimana, Kek?"
"Kawan ronda malam aku sudah berangkat ke Kantor Polisi. Semoga mereka bisa membereskan keadaan kacau ini." Suara si kakek terdengar parau nan bergetar.
Panca mengangguk, bau mulut tercium karena wajah si kakek begitu dekat dengannya. Anak remaja itu terpaksa menahan nafas. Lagipula, dia tidak terlalu menghiraukan kelakuan si kakek. Hal utama yang dipikirkannya kali ini hanyalah bagaimana bisa menyelamatkan Bajra dari kericuhan yang tengah terjadi.
Pandangan Panca bukan hanya tertuju pada orang-orang yang sedang mengepung kantor Koran Batavia, dia juga memperhatikan reaksi warga pada suara-suara yang mengganggu ketentraman warga kota. Banyak lelaki bertelanjang dada serta tanpa alas kaki berhamburan keluar rumah masing-masing. Beberapa diantara mereka menenteng senjata tajam dan senapan yang siap digunakan untuk menembak jika diperlukan.
Panca bisa melihat cukup jelas jika Burhan berusaha untuk merangsek masuk ke dalam gedung dua lantai tersebut. Ada beberapa orang yang mendobrak jendela. Ada pula beberapa orang yang berusaha mendobrak pintu dengan sebatang kayu gelondongan. Entah darimana kayu tersebut didapatkan, sepertinya mereka sudah mempersiapkan pengepungan ini sebelum mereka tiba di sana.
"Bubar!"
Panca menyaksikan beberapa ekor kuda yang ditunggangi polisi berseragam biru tua. Para polisi itu datang dari arah yang berlawanan. Salah satu diantara mereka berteriak meminta semua orang membubarkan diri. Namun, tak berhasil.
"Bubar, kubilang bubar!"
Kegagalan para polisi menghalau massa bertepatan dengan terbukanya pintu.
Brakk!
Para perusuh masuk tanpa ada yang sanggup mencegah. Mereka seakan air bah yang datang tiba-tiba kemudian masuk ke dalam kantor Koran Batavia.
"Aduh celaka, Nak." Si kakek berambut dikepang berteriak sambil meraba kening, "gedung bisa berantakan."
"Ya, Kek." Panca mengangguk setuju dengan pernyataan si kakek, "tetapi, saya lebih mengkhawatirkan kawan saya."
Si kakek terheran-heran dengan pernyataan Panca, "benarkah? Kawanmu ada di sana?"
Panca tidak langsung menjawab pertanyaan si kakek. Si kakek pun nampaknya tidak membutuhkan jawaban. Pandangan pria tua itu terfokus pada keadaan gedung yang tampak ricuh.
Beberapa jendela yang semula tertutup kini tampak terbuka. Cahaya lentera yang menerangi ruangan cukup menjadi petunjuk apa yang sedang terjadi di sana. Orang-orang yang semula berbuat rusuh di luar gedung kini tampak menghambur-hamburkan kertas melalui lubang jendela.
Brakk!
Panca kaget ketika beberapa buah mesin tik dilemparkan dari lantai atas. Alat untuk menulis itu berserakan di pekarangan gedung. Serpihan mesin tersebut diinjak oleh kaki kuda. Besar kemungkinan tidak akan bisa digunakan lagi.
Melihat keadaan demikian, Panca berpikir keras bagaimana caranya bisa masuk ke dalam gedung. Tetapi, hal demikian bukanlah perkara gampang.
"Kakek, saya ingin masuk ke sana." Panca menatap si kakek, kini wajahnya cukup jelas ketika cahaya lampu jalan mengarah kepadanya, "Kakek tahu bagaimana caranya?"
Si kakek yang telah beruban menatap Panca dengan tatapan penuh keheranan. "Kau yakin, Nak?"
Panca tampak gugup. Dia hanya berjalan mondar-mandir sambil menggaruk kepala. Telapak tanpa alas kaki milik anak itu dihentak-hentakkan ke tanah pertanda jika dia tidak bisa bersikap lebih tenang.
Si kakek bisa mengerti kenapa Panca bersikap demikian. Sikap anak remaja itu pun diperhatikan oleh beberapa orang yang sama-sama berkerumun di bawah pohon. Warga yang ada di sana tidak berani lebih dekat dengan gedung kantor Koran Batavia. Mereka tidak mau ambil resiko jika harus terluka oleh sabetan senjata atau sebutir peluru nyasar.
"Kawanmu ada di sana, untuk apa?" seseorang bertanya untuk memperjelas situasi.
"Dia tengah berkunjung, Paman. Tadinya, hendak berbicara dengan Paman Abimana, seorang wartawan di dalam sana."
Orang yang bertanya hanya menganggukkan kepala. Sedangkan si kakek tampaknya masih belum mengerti kenapa seorang anak remaja seusia Panca bisa terperangkap dalam kerusuhan.
"Kakek, saya harus masuk ke sana."
"Ya, Ya, Nak. Tapi, jangan. Bahaya. Di sana banyak orang bersenjata." Si kakek menunjuk pintu utama gedung yang disesaki oleh orang-orang suruhan Burhan yang sedang menghalangi polisi untuk masuk.
Memang benar apa yang disampaikan, Panca tidak mungkin bisa masuk ke sana. Anak itu pun kembali menimbang-nimbang keadaan.
"Lihat, ada orang yang hendak turun keluar dari jendela?" seorang warga menunjuk sebuah jendela yang terbuka.
"Itu Bajra!" Panca sedikit sumringah.
Tetapi, orang yang dimaksud ternyata kembali masuk ke dalam gedung. Ada seseorang yang memaksanya untuk membatalkan niat untuk turun dari lantai atas sebuah gedung. Hanya kepala dan tangannya saja yang terlihat menjulur ke luar jendela.
"Bajra!" Anak remaja itu hendak berlari ke arah gedung sembari menyebutkan nama sahabat karibnya.
"Hei," tetapi seorang lelaki memegang pundak Panca, "kau mau ke mana?"
Panca memejamkan mata sembari berdiri mematung. "Pergi ke sana, tentu saja!"
"Pertimbangkan keselamatanmu." Semua warga yang ada di sana mengatakan hal yang sama.
Panca pun membuka mata. Dia bisa membayangkan betapa bahaya tempat yang sedang berkecamuk itu. Datang ke sana hanya menyerahkan nyawa ke kandang singa.
"Nak, ayo ... ikuti aku," si kakek mengajak Panca ke suatu tempat. Sepertinya si kakek punya rencana untuk membantu Panca.
"Ke mana?"
"Aku punya sesuatu," si kakek menatap Panca, "kau ingin menyelamatkan kawanmu, kan?"
Panca mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mistério / Suspense"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...