24. Ketidakadilan

14.4K 467 1
                                    

Kebutuhan dapur sudah menipis, membuat Lia yang menyadari hal itu memutuskan untuk pergi belanja. Karena masih cuty kerja, Raka tidak dititip ke penitipan anak dan Lia membawanya untuk belanja.

"Mama sebenarnya kapok bawa kamu kemari lagi, Nak. Soalnya anak kesayangan Mama yang lumayan menguras dompet. Melihat apa saja yang menarik kamu langsung memaksa Mama beli itu," jelas Lia sembari membawa Raka menjauh dari rak perbelanjaan yang berpotensi membuatnya gagal membeli kebutuhan dapur.

"Tapi papa bilang Raka anak terbaiknya, bukan anak nakal, Ma," jawab Raka sambil mengingat ucapan Davin padanya saat mereka bersama. Beda dengan Lia yang lumayan galak, Davin sangat lembut dan baik hati. Bagi Raka yang tak tahu apa-apa itu, papanya adalah malaikat untuknya.

"Papa juga suka beliin banyak mainan sama Raka. Kata papa kalau Raka dah gede, papa mau belikan pesawat terbang biar Raka bisa ke langit jalan-jalan ke mana aja asal sama papa," lanjut Raka terlihat antusias membicarakan ayahnya.

Jujur saja Lia cukup kesal dengan anaknya meski diapun tak bisa membencinya. "Kalau Raka di suruh memilih antara Mama dan papa, Raka mau siapa?"

"Papa!!" jawab Raka langsung saja tanpa berpikir panjang. Jawaban itu hampir saja membuat Lia kecewa, tapi kemudian Raka melanjutkan dan dia sedikit membaik. "Mama juga!"

"Nggak boleh duanya harus salah satunya!" tegas Lia membuat Raka gelang kepala.

"Raka mau sama papa dan Mama. Pokoknya halus duanya!" ujar anak itu tak mau kalah.

"Dasar keras kepala. Kamu ini selain wajah, sikap kelakuanmu persis seperti papamu!"

"Karena Rakakan anak papa!"

"Oh, anak papa aja? Nggak mau jadi anak Mama juga?"

"Raka anak papa dan Mama!"

Lia tersenyum lalu mencubit gemas pipi putranya. "Baiklah, kalau begitu cium Mama dulu," ujar Lia yang kemudian menunduk dan memberikan pipinya pada Raka.

Namun bukannya menurut, Raka anaknya mundur dan tak seperti biasanya. Hal itu membuat Lia heran dan tak mengerti, pasalnya putra kecilnya selama ini tak pernah menolak saat dimintai untuk mencium pipinya, pipi ibunya sendiri.

"Kenapa? Kamu udah nggak sayang lagi sama Mama?"

Raka menggelengkan kepala. "Papa bilang Raka udah gede dan udah nggak boleh cium Mama. Kalau tidak Papa tidak akan mau main sama Raka, tidak mau belikan mainan baru dan Papa akan pelgi!"

Lia mengerutkan dahinya, tak habis pikir dengan apa yang barusan Raka beberkan. 'Apa maksud Pak Davin mengatakan itu? Aneh sekali, dan juga keterlaluan. Bisa-bisanya dia mengancam Raka!'

"Lia!" panggil seseorang membuyarkan lamunan Lia. Wanita itu segera berbalik ke arah sumber suara, kemudian cukup terkejut melihat siapa orang yang memanggil namanya itu.

"Kamu sama siapa, apakah dia anaknya Davin?" tanya orang itu langsung mencecar Lia dengan serentetan pertanyaan.

Mood Lia seketika berubah, dia tak bisa menolak kalau perasaan kecewa, geram dan marah langsung saja menyelimutinya dalam seketika.

"Jadi Mama pikir dia anak selingkuhanku?" tanya Lia membalas dengan ketus.

Sungguh sebenarnya dia tak ingin mengutarakan hal itu, karena dia bisa keterlaluan pada mantan mertuanya itu. Ah, iya, orang yang menyapanya itu adalah Amel. Rupanya wanita paruh baya itu juga berbelanja di supermarket yang sama dengannya. Siapa sangka kalau dunia memang sempit. Mereka bisa bertemu meski tidak berencana.

"Jangan berkata seperti itu, Nak. Mama yakin itu adalah cucu Mama!" seru Amel yang kemudian terlihat berkaca-kaca.

Wanita paruh baya itu hampir saja mendekati Raka, lalu menunduk untuk memeluk cucunya, namu Lia segera menarik putranya dan menjauhi Amel.

"Dia bukan cucumu, dia anakku bersama selingkuhanku!" tegas Lia dengan kejam menguatkan pertahanannya.

Dia bukannya jahat, tapi sulit mengatakan pada hatinya kalau dirinya harus bersikap baik pada wanita yang jauh lebih tua darinya itu, dan bersikap sopan. Luka dan kekecewaan yang wanita tua itu torehkan terlalu dalam.

Lalu bagaimana Amel bisa dengan percaya mengklaim Raka sebagai cucunya adalah karena mereka sempat bertemu lima tahun lalu.

Saat itu Amel sedang menemani Liona untuk memeriksakan kandungannya, dan Lia juga sama. Hanya saja mantan menantunya itu sendirian tanpa siapapun yang menemaninya.

'Apa yang kau lakukan di sini dan--' Amel meneguk ludahnya kasar. Menatap perut Lia yang sedikit membuncit. 'Kau hamil?'

Amel seperti ditampar sesuatu yang sangat keras terlihat syok dan juga memperlihatkan tatapan yang sulit diartikan.

Membuang wajahnya ke lain arah, Lia mengigit bibirnya cukup keras. Untuk menahan perasaan yang mendesak dan membuatnya sesak di ulu hatinya.

'Kamu hamil anaknya Davin, Lia? Katakan pada Mama itu benar, Nak?' tanya Amel menuntut.

Sejujurnya wanita paruh baya itu selain terkejut, dia juga nampak bahagia. Bagaimanapun juga itu impiannya dan seandainya anak itu hadir lebih cepat, mungkin saat Lia difitnah, Amel pasti bicara dan membelanya. Bukannya malah ikut-ikutan menundingnya dan membuat Lia diperlakukan tidak adil.

'Bukan. Anak ini hanya anakku, bukan anak putramu!' tegas Lia dengan perasaan yang sesak dan kecewa yang mendesak.

'Tidak. Aku yakin itu anaknya Davin. Mama yakin itu Lia, kamu jangan berbohong. Mama tahu siapa kamu dan Mama sangat mengenalimu, Nak,' ujar Amel meyakinkan.

Saat ini Liona sedang di ruang dokter dan sedang periksa di dalam. Hingga mereka hanya berbicara berdua dan duduk di kursi tunggu.

'Kamu tidak mengatakan itu saja dunia menyudutkan aku! Cukup, Ma--oh bukan, tapi Tante. Cukup! Aku tidak mau mendengarkan apapun lagi. Satu hal yang pasti tidak ada hubungan apapun lagi diantara kita dan tolong lain kali bersikaplah seperti orang asing saat kita bertemu lagi!' tegas Lia dengan perasaan yang tidak bisa ditahannya. Wanita itu menangis meski sampai tidak sesegukan.

'Lia apa yang kau katakan sayang? Ayo kita pulang, ikut Mama! Setelah itu Mama janji akan memperbaiki segalanya,' jelas Amel sambil meraih telapak tangan Lia.

Namun Lia segera menepisnya dan menggelengkan kepala. 'Tidak ada yang perlu diperbaiki. Aku sudah baik-baik saja dengan hidupku yang sekarang!'

'Tidak. Jangan katakan itu, Nak. Mama minta maaf dan Mama berjanji akan mengatakan segalanya. Foto itu palsu, hanya buatan orang iseng yang ingin merusak rumah tangga kalian. Karena memang benar adanya, selama Davin pergi kamu selalu sama Mama dan tidak kemana-mana!'

Mengusap air mata yang tak terbendung lagi, Lia kemudian membuang nafasnya kasar. 'Seandainya aku tidak hamil sekarang, apa Tante melakukan hal yang sama sekarang?!' sarkas Lia.

Amel terdiam, tapi sebelum dia menjawab seseorang memanggilnya dari belakang. Itu Liona dan sebelum Liona memergoki Lia bersama Amel. Di saat yang sama ketika Amel menoleh kebelakang, Lia kabur dari sana.

❍ᴥ❍

Bersambung

MY BOSS IS MY EX-HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang