39. Sama-sama Kecewa

23.6K 516 1
                                    

Perasaan Lia tidak bisa tenang sejak tahu kenyataan, kalau sebenarnya Davin sudah tahu sejak lama putranya. Kalau dipikirkan lagi, pantas saja pria itu selama ini sangat peduli pada Raka, rupanya itu bukan cuma ikatan batin, tapi juga pengetahuan pria itu.

Mengingat hal itu, Lia jadi kalut dan terus kepikiran. Kini jangankan makan yang sudah tak teratur, tapi waktu tidurnya pun sudah berantakan. Kecemasan menyelimutinya dan Lia terlihat berantakan.

Clekk!

Davin masuk ke kamar dan menatap Lia untuk beberapa waktu. "Aku tidak bisa melepasmu, maksudku sampai kapanpun kau harus menjadi sekretarisku, tapi sebagai gantinya tugasmu tidak akan sepadat yang sebelumnya. Kau akan lebih senggang mulai sekarang."

Lia menoleh dan segera mengerutkan dahi menatap heran. "Apa yang kamu inginkan sebagai gantinya. Aku yakin itu tak gratis bukan?!" ujar Lia cukup sarkas.

Davin menyeringai, tersenyum licik kemudian mengangguk. "Tepat sekali. Cerdas sekali, Lia!" puji Pria itu, tapi malah terdengar seperti hinaan.

"Katakan apa yang kamu inginkan sebagai timbal balik?" tanya Lia dengan serius.

Davin tak langsung menjawab, tapi terlihat berpikir keras untuk sesaat. "Kita sudah punya anak Lia, kita punya Raka dan kau tidak bisa menyangkalnya karena aku sudah melakukan tes DNA--" Davin berhenti sebentar, bergerak ke arah laci nakas di samping tempat, kemudian mengelus sesuatu dari sana.

"Bacalah! Itu salinan hasil tes DNA Raka dan Aku. Persis seperti yang aku jelaskan bukan?"

"Aku sudah tahu itu, kenapa kamu malah meyakinkan aku? Kau pikir saat aku mengandung Raka, aku tidak tahu siapa ayahnya?"

Davin mendengus kasar. "Kau lupa Lia, lima tahun lalu kau pernah berkhianat dan mungkin saja alasan bisa kau jadikan alasan untuk mengelak dari fakta yang ada. Jangan-jangan alasanmu menyembunyikan Raka dariku, membesarkannya untuk membalas dendam kepadaku!" ujar Davin membuat Lia tak percaya dengan apa yang pria itu katakan.

"Mas!" panggil Lia dengan nada protes. "Aku bukan wanita seperti itu!" tegasnya, tapi kemudian saat melihat sorot mata ketidakpercayaan Davin padanya, Lia merasa menjelaskan pun percuma. "Baiklah, terserah kamu saja, sekarang katakan apa timbal balik yang harus aku lakukan, agar pekerjaanku di kantor berkurang sebagian?"

"Tidak sabaran juga ternyata," ujar Davin menatap Lia intens. "Tapi baiklah Lia, akan aku jelaskan. Pertama berikan aku anak lagi, karena walaupun sudah punya Raka, aku belum merasakan proses mulanya menjadi ayah. Aku ingin melihat anakku sejak dia mulai terbentuk dalam rahimmu, sampai kemudian melihat hari pertama kehidupannya di dunia ini," ungkap Davin terdengar tulus, Lia hampir tak percaya dengan itu dan berpikir Davin sedikit melunak, tapi saat kemudian pria itu melanjutkan ucapannya, semuanya berubah.

"Itu masih syarat pertama, masih ada yang kedua!" jelasnya sambil menyeringai licik, Lia agak meringis melihatnya dan waspada.

"Mulai sekarang kau hanya boleh mengabdikan dirimu menjadi jala*gku! Berikan pelayanan terbaikmu dan jangan berani mengeluh! Belum cukup itu saja, karena yang ketiga adalah untuk tahu diri, walaupun kita menikah jangan berani-beraninya bersikap seperti istriku, karena kenyataannya kau hanya budakku. Aku bahkan melakukan pernikahan ini demi Raka, bagaimanapun juga setelah tahu dia anak kandungku, aku tak mau anakku mendapatkan kasih sayang yang separuh dari orang tuanya. Paham?!"

Lia tidak menganggukkan kepalanya, tapi dari diamnya, Davin tahu kalau wanita itu sudah tak mempunyai perlawanan. Lia sudah pasrah dan tunduk padanya.

Hari berlalu, sangat cepat dan Lia benar-benar sudah merasa menjadi budak sungguhan suaminya, atau bahkan wanita simpanannya. Sebenarnya bukan cuma supaya pekerjaannya berkurang, tapi juga untuk membuat Davin lengah.

Lia sengaja tak melawan bukan karena pasrah, tapi agar pergerakannya bebas menyelidiki ke mana Raka di bawa dan di sembunyikan suaminya.

Malam itu saat akan mengantarkan kopi pada suaminya Davin yang akan lembur, Lia menemukan pria itu bicara di telepon. Lia terdiam dan mengerutkan dahi, ketika Davin membahas Raka.

"Apakah Raka bahagia di sana, Ma?" tanya Davin pada orang di telepon dan ternyata itu adalah Amel ibunya.

"Iya, Nak. Katanya dia suka adik kecil dan mau punya juga," jawab Amel memberitahu.

Lia mendengarkannya dengan serius. Mungkin saja dari caranya menguping itu akan membuahkan hasil tentang lokasi Raka.

"Aku sangat senang mendengarnya Ma, dan aku harap Lia secepatnya bisa mewujudkan keinginan Raka."

"Tapi Vin, cucu Mama udah kangen kamu dan Lia. Raka sudah minta pulang," jelas Amel.

"Ayolah, Ma. Bujuk dia, lakukan sesuatu. Jarang-jarang kami bisa berdua begini. Aku dan Lia hanya berdua. Bukan karena kami tak butuh kalian, tapi kadang-kadang begitulah pasangan," jelas Davin membujuk Mamanya supaya tak cepat pulang.

"Tapi dia sudah bosan di sini."

"Mana mungkin Mama dan Raka bosan di Rum--"

"Hoekk-hoek!" belum juga Lia mendengar Davin mengucapkan alamat yang sudah sejak lama Lia incar, tiba-tiba gejolak aneh mengguncang perutnya dan membuatnya sangat mual.

Wanita itu segera meletakkan kopi suaminya, lalu buru-buru berlari menuju kamar mandi. Membuat Davin menyadari kehadirannya dan menutup telepon. Lalu menyusul Lia.

"Apa kamu hamil?" tanya Davin menduga, saat kini mereka sudah di dalam kamar mandi.

Lia saat ini sedang membersihkan mulutnya, lalu menyekapnya untuk menghilangkan jejak air. "Aku rasa juga begitu, sejak pagi aku mual terus, tapi maaf aku harus menghancurkan harapanmu. Siang tadi aku sudah ke dokter untuk periksa, tapi vonisnya bukan anak yang ada di dalam rahimku, melainkan lambungku yang bermasalah," jelas Lia tampak serius.

Dapat dilihat olehnya kekecewaan di muka suaminya, dan Lia tak bisa berbohong kalau dirinya cukup puas dengan itu.

"Mau bagaimana lagi, Mas. Kerjaku di kantor memang ringan, tapi di rumah ini aku kan budakmu, tiap hari kerja rodi dan membuatku suka lupa makan," jawab Lia sekalian mencibir Davin.

"Kau tidak sedang mencoba membohongi aku?" tanya Davin mengintimidasi dan Lia langsung menjawab dengan anggukan kepala.

"Kau bisa melihatnya dari laporan pemeriksaan dokter. Aku punya di kamar," jawab Lia membuat Davin mendesah kasar.

Sial. Baru saja mau senang, tapi Lia sekarang sudah meruntuhkan kesenangannya. Dia kecewa, lalu tanpa sepatah kata pun Davin berlalu dari sana begitu saja.

'Sial. Sepertinya aku harus lebih berusaha lagi. Akan aku buat Lia hamil secepatnya!' batin Davin bersungguh-sungguh.

'Kenapa juga tadi aku harus mual segala, padahal tinggal sedikit lagi dan selanjutnya aku bisa bertemu anakku Raka,' batin Lia menyesal dan kecewa.

Kenapa juga harus seperti itu, tinggal sedikit lagi, sedikit lagi mempunyai anak, tapi tiba-tiba harapan itu sudah langsung diruntuhkan saja.

❍ᴥ❍

Bersambung

MY BOSS IS MY EX-HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang