64. Bukan Pria Baik

9.5K 253 4
                                    

Kiandra pulang dengan wajah kusutnya, tapi sepertinya itu bukan karena kurang tidur atau karena harus menjaga ayahnya semalaman di rumah sakit. Hal itu bahkan tak pernah jadi masalah untuknya, meski letih dan lelahnya cukup menguras tenaganya.

"Kamu kenapa, Kiandra?" ujar Lia bertanya, karena merasakan perbedaan pada adiknya itu.

Menghela nafasnya kasar, Kiandra menggelengkan kepalanya. Kemudian menghampiri rak gelas dan mengambil salah satu gelas, mengisinya dengan air minum kemudian meneguknya.

"Apa kamu punya masalah, kamu bisa ceritakan padaku Kia. Aku kakakmu, siap berbagi masalah denganmu!" tegur Lia dengan serius.

Wanita itu cukup peka akan sesuatu yang diperlihatkan oleh tatapan adiknya yang tidak bisa ditutupi.

"Jangan cemaskan aku dan menikah dengan Kak--" Kiandra terlihat meneguk ludahnya kasar sebelum kemudian dia melanjutkan ucapannya dengan segera. "Kak Alsen secepatnya. Dia orang yang mencintaimu dan aku yakin pasti bisa membahagiakanmu!"

Adik gadisnya itu memilih mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau jujur dan tak mau memberitahu apapun pada Lia. Sehingga kakaknya itu jadi kesal.

"Dalam keadaan hamil begini?" balas Lia akhirnya sambil mendengus kasar. Jujur saja dia lumayan jengkel setelah mendengarkan percakapan adiknya dan bahkan bisa dikatakan menyesal sudah bertanya kepadanya.

Dia tak kaget mengapa Kiandra sampai berkata demikian, karena Lia tebak sebelum pulang, ibunya yang datang ke rumah sakit untuk gantian menjaga sang kepala keluarga, sudah pasti memberitahunya.

"Kak Alsen menyanyangimu dengan tulus, jadi dia pasti menerima apapun keadaanmu, Kak," jelas Kiandra dengan serius, tapi entah kenapa Lia menangkap ada nada ketidakrelaan dari suara adiknya itu. Walau meski begitu Lia tak terlalu mempermasalahkannya dan memilih tak mengeluarkan uneg-unegnya.

"Sayangnya cinta yang tulus masih tidak menjamin orang bahagia. Maaf Kiandra, aku harus katakan ini, tapi apapun yang kamu dan mama katakan soal Alsen. Itu tidak akan merubah apapun, dan aku sudah kehilangan ketertarikan pada pria manapun, karena aku terlalu mencintai suamiku!" ujar Lia begitu tegas diakhir kalimatnya.

"Jangan bilang kakak belum memaafkan Kak Alsen?" ujar Kiandra malah mengungkit masalah lainnya dan menyebabkan Lia mengerutkan dahinya.

Adiknya ini sama seperti ibunya, sulit diberi pengertian ataupun penjelasan. Keduanya sama-sama keras kepala dan juga agak pemaksa.

"Ini bukan soal maaf, tapi apa yang bisa kamu harapkan dari pria yang keji dan berani melecehkan harga diri wanita?!" sarkas Lia cukup menohok.

Kiandra bahkan sampai tertegun sebentar memikirkan ucapan kakaknya. Ya, Alsen sudah melecehkan harga diri kakak. Pengakuannya di masa lalu sudah pernah tidur dengan Lia, walaupun tidak benar, tapi itu tetap saja merendahkan Lia dihadapan suaminya. Mereka bahkan bercerai karenanya.

Merenung sejenak, Kiandra sedikit meremas telapak tangannya sendiri. 'Pria macam apa yang sudah aku cintai? Pria yang mencintai orang lain, terobsesi, dan bahkan sampai rela berbuat keji hanya untuk mendapatkan cintanya?' batin Kiandra tersadar dan kecewa.

"Dengarkan aku, Kiandra. Dengarkan baik-baik. Kamu sudah dewasa dan Kakak yakin kamu bisa membedakan mana yang baik dan benar, dengan baik. Kamu cukup tahu hal itu Kia dan akupun yakin kamupun setuju dengan pendapatku. Alsen itu bukan pria yang baik dan kalaupun baik sampai kapanpun kami tidak akan bisa bersama!"

❍ᴥ❍

Beberapa hari berlalu, Lia dan Davin semakin jarang bisa bertemu. Sejak pulang terlambat lalu keesokan paginya Alsen tiba-tiba datang ke rumahnya, Lia seperti lebih dibatasi oleh ibunya.

Hampir setiap waktu, Linda memastikan jika Lia tak rumah, berarti anaknya itu di rumah sakit. Paling berlebihan wanita paruh baya itu bahkan hampir tiap jam menghubungi Lia dengan videocall untuk memastikannya.

Lia jadi stress dan beberapa kali perutnya menjadi kram karena ulah ibunya. Sementara Davin suaminya tentu saja juga tak bisa diam saja. Dia memikirkan segala cara supaya bisa bersama Lia ditengah hambatan ibu mertuanya dan juga pekerjaan yang menumpuk.

Brak!

Tok-tok!!

Tiba-tiba suara seperti benda terjatuh terdengar dari balkon kamar Lian. Sampai membuat wanita hamil itu terkejut, meski kemudian dia justru dengan berani menghampiri sumber suara.

"Mas Davin?!" ujar Lia tampak syok.

Reflek Davin langsung mengangkat jari telunjuknya di depan bibir. Kemudian bangkit dibantu oleh Lia. "Jangan berteriak, nanti mama dan adikmu bisa mendengarnya, lalu mengusirku dari sini," jelas Davin memberi pengertian.

Lia menganggukkan kepalanya paham, kemudian mengerutkan dahi seperti terpikirkan sesuatu lalu sedikit berlari dengan perut besarnya menuju pintu.

Clek!

"Aku sudah menguncinya, jadi seseorang tidak akan bisa masuk dengan mudah kemari tanpa izinku," jelas Lia tanpa dosa.

Tak tahu saja kalau aksinya itu sudah menyebabkan spot jantung untuk Davin. "Sayang lain kali jangan berlari seperti tadi, kasihan anak kita."

"Hm, aku tidak akan melakukannya. Sekarang katakan bagaimana caranya Mas naik kemari dari luar sana hingga ke balkon kamarku, dan untuk apa kemari? Maksudku ini sudah larut malam Mas?"

"Aku memanjat bersusah payah, karena aku tidak bisa tidur malam ini. Aku juga membawakan makanan kesukaanmu disini," jelas Davin sambil mengangkat tangannya yang ternyata sedang membawa beberapa kantung plastik. Lia menerimanya lalu membuka isinya.

"Ayam geprek yang bertambah geprek, karena kayaknya kamu tindih tadi pas jatuh ke lantai, Mas," jawab Lia sedikit miris. Sebenarnya bukan karena keadaan ayamnya, tapi karena ayam itu adalah kesukaan suaminya.

Davin segera mengusap pundaknya sendiri. Agaknya dia merasa tak enakan dengan istrinya. Padahal menurutnya sudah seharusnya Lia mendapatkan yang terbaik.

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bermaksud melakukan itu, hanya saja saat sudah berhasil naik, aku malah goyah dan jatuh ke lantai di atas balkon kamarmu ini," jelas Davin merasa bersalah.

"Sebenarnya tidak masalah sedikit lecet, Mas. Cuma seingatku ini bukan makanan kesukaan aku, tapi kamu," jawab Lia mengungkapkan.

"Oh, itu. Ini memang untuk aku sayang, kamu makan yang di kresek satunya lagi," jelas Davin sambil mengeluarkan satu bungkus lainnya yang belum Lia lihat.

"Susu pisang?" tanya Lia agak tak percaya dan Davin segera mengangguk membenarkan.

"Ah, tapi sekarang aku jadi lapar makan ayam geprek ini, bagaimana dong Mas?" tanya Lia yang tiba-tiba berubah pikiran.

"Tidak masalah, kita bisa berbagi," jelas Davin sambil tersenyum.

Entah mengapa momen itu menjadi haru diantara keduanya. Namun, mungkin saja karena perpisahan membuat mereka demikian. Suami-istri, tetapi sulit untuk bersatu meskipun itu cuma mau ketemu.

Davin mengusap bahu istrinya, sebelum kemudian menyiapkan makanan untuk mereka santap berdua. Cukup menyesakkan baginya mengingat apa yang sudah dia lakukan.

Lia memang tak mampu menghukumnya, entah karena terlalu bodoh atau terlalu mencintainya. Namun, keluarganya Lia membuat Davin sulit dan bahkan tersiksa.

❍ᴥ❍

Bersambung

MY BOSS IS MY EX-HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang