36. Yields?

103 30 0
                                    

Hai hai! Sebelum membaca, pastikan kalian mengklik tombol vote, juga jangan lupa meramaikan isi komentar, yaa.
Happy Reading🌹


Kamu boleh mengeluh, tetapi jangan pernah menyerah.
 
 

 

Ke mana Eric pergi?

Setelah diusir dari Nox, seisi hutan ini seolah tak mau menerima keberadaannya lagi. Sementara fajar telah terlukis di kaki langit timur. Matahari akan terbit sebentar lagi.

Napas Eric tersengal-sengal. Pandangannya terasa semakin kabur setelah berkali-kali menggunakan kemampuan teleportasi. Sampailah dia di Lembah Ecarta, di sana Eric berjalan lesu. Semakin lama, tubuhnya semakin melemah.

Akhirnya tubuh Eric jatuh tengkurap di tepi Sungai Ecarta yang mengalir tenang. Sielleux itu tergeletak di sebelahnya, dengan cahaya biru yang perlahan memudar.

"Cucuku..." Sebuah suara terdengar.

Eric menoleh, terlihat seorang wanita yang amat dia kenal—berdiri di sebelahnya. "Nenek..." suara Eric terdengar parau.

Anahita tersenyum kepada Eric—meski dia tahu masa lalu cucunya yang telah meninggalkan dan melepaskan status kebangsawanannya terhadap Klan Murphy. Masa lalu yang sangat memalukan.

Kemudian Anahita membantu Eric untuk duduk.

"Kenapa Nenek tidak muncul... dari sungai...?" tanya Eric pelan. Wajahnya pucat.

"Nenek baru saja melihat-lihat suasana Omichlis setelah sekian lama."

Kepala Eric tertunduk. Keadannya sedikit membaik setelah berbicara dengan neneknya. Entah kekuatan apa yang dimiliki oleh Elf Air—

"Selain menghapus ingatan akan kenangan, Elf Air memiliki kemampuan menghapus ingatan akan rasa sakit. Apa keadaanmu sudah membaik?" ujar Anahita dengan lembut.

Kepala Eric tertunduk, lantas mengangguk pelan.

"Nenekmu ini tahu semuanya." Kemudian Anahita mengusap pelan kepala cucunya. "Putriku selalu membicarakanmu melalui sumur di Istana Nebbia. Dia menangis setiap kali menyebut namamu. Meredith ingin kamu kembali untuk wanita bernama Esther. Dia selalu menyimpan kesedihan dengan kesibukannya sebagai dokter. Meredith pernah berkata, dia mungkin tersenyum, tapi hatinya terluka."

Mata merah Eric membesar mendengar penjelasan Anahita.

"Sebagai nenekmu, aku harus menasehatimu. Karena ibumu tidak ada di sini." Kemudian Anahita terdiam untuk sesaat, dia duduk bersimpuh di hadapan Eric. "Jika kamu menginginkan kekuatan untuk menghancurkan musuhmu, maka jangan lakukan itu, Nak. Musuhmu adalah keluarga dari sahabatmu," tuturnya.

"Soul?" wajah Eric terangkat.

Anahita mengangguk. "Dia menyayangi kakaknya itu, meski mereka terlihat saling bermusuhan. Namun, kamu tidak pernah tahu, Eric. Soul dan Malavi pernah berbincang-bincang di Ecarta, dan sungai mendengarnya. Obrolan mereka sama sekali tidak ada niat untuk saling menyerang satu sama lain."

Rupanya ucapan Ennoia di masa lalu memang benar. Malavi hanya memusuhi keturunan Soul, pun sebaliknya, Soul hanya memusuhi pengikut Malavi.

"Coba pikirkan sekali lagi. Setidaknya untuk Soul, jangan pernah membunuh Malavi," imbuh Anahita.

"Tapi, Nek," Eric menjawab cepat. "Aku harus menyelesaikan semua permasalahan ini dengan menuntashabiskan Sorrow, termasuk para sahabatku, dan aku sendiri."

Anahita menggeleng. "Tapi itu bukan jalan satu-satunya."

Eric merangkul kedua lututnya, menenggelamkan wajahnya di sana.

Kemudian mata biru Anahita menangkap sebuah senjata yang tergeletak di sebelah Eric. Dan saat Anahita memegang dan mengambilnya, senjata itu mengeluarkan cahaya biru dan suara seperti gemericik air hujan.

Senyuman terlukis di wajah Anahita. Dia kembali mengingat kenangan bersama dengan pusaka berharga itu, hadiah dari kelima teman-temannya.

"Cucuku," panggil Anahita lembut.

Eric kembali mengangkat wajahnya.

"Sejauh mana kamu bisa menggunakan senjata ini?"

Eric mengerjap-erjap. "Entahlah, Nek... Tapi aku bisa menyimpan senjata itu di dalam lenganku."

Anahita tersenyum. "Itu bagus sekali. Kamu tahu, Nak, nenekmu dulu hanya sehari saja memakai senjata ini—sebelum semuanya hancur. Kamu bisa mencari potongan Sielleux yang pernah Nenek patahkan."

"Maksud Nenek?" dahi Eric terlipat.

"Senjata Sielleux tidak pernah lekang oleh usia, meski dihantam berbagai bencana. Walaupun telah patah, tapi potongan mereka bisa disatukan kembali. Dan hanya kamu, yang bisa mengembalikannya. Namun, ketahuilah satu hal. Bahwa kekuatan yang besar, memiliki risiko yang besar pula."

"Aku akan mencarinya!" Eric langsung bersemangat. "Akan kutanggung risiko itu."

Anahita cukup terkejut dengan antusiasme yang dimiliki oleh Eric. Kemudian senyuman manis terukir di wajahnya.

"Apa tujuanmu untuk memiliki kekuatan itu?" tanya Anahita.

"Untuk melindungi keluarga dan sahabatku. Siapapun yang berani melukainya, maka aku tidak akan segan-segan membunuh mereka."

Kemudian Anahita mengangguk pelan, tersenyum. Anahita senamg bila Eric memiliki tekad yang kuat. "Sekarang istirahatlah di kaki Bukit Ecarta. Nanti malam, kamu bisa mencarinya."

Eric mengangguk takzim. Tak sabar menunggu malam nanti.

~☾☼~
 


Mata Esther mengerjap-erjap saat cahaya matahari menyinari wajahnya melalui jendela. Dia langsung bangkit dari tidurnya.

Esther pun gelagapan mencari keberadaan Eric. Namun, tidak ada siapa-siapa selain dirinya di kamar itu.

Esther memegang keningnya, menghela napas pelan. Dia masih mengingat dengan jelas kejadian kemarin malam. Sejenak Esther menatap dirinya sendiri dengan gaun putih. Seluruy anggota tubuhnya terasa remuk, terutama bagian pinggul.

Esther menatap langit pagi dari jendela. Suara kicauan burung menambah suasana musim semi di pagi hari.

Eric pergi meninggalkanku lagi...

"Lady!" Sebuah suara mengejutkannya. Seseorang mengetuk pintu.

Esther mengusap wajahnya yang hangat, berjalan menuju pintu. Dan benar saja, pintu itu terkunci. Karena kemarin malam Eric yang melakukannya. Hal ini membuat Esther semakin yakin bahwa kehadiran Eric bukanlah mimpi, tetapi benar-benar nyata.

"Lady Esther?" Suara panggilan kembali terdengar.

Yang dipanggil kemudian membuka pintu—setelah tersadar dari lamunannya.

"Kenapa Lady menguci pintunya?" Paradisa bertanya tepat setelah pintu dibuka separuh.

Esther dibuat kikuk. Selama ini dia tidak pernah mengunci pintu agar Paradisa bisa mengunjungi kamarnya dengan bebas.

"Aku... aku hanya memeriksa kunci pintu apa masih berguna atau tidak. Tapi aku..., aku lupa melepas kuncinya kemarin malam, Ratu," jawabnya.

Paradisa manggut-manggut mendengar penjelasan Esther. "Baiklah. Sekarang Lady harus bersiap. Lady tidak akan meninggalkan sarapan bersama keluarga lagi, bukan?"

"Ehm." Esther tersenyum simpul.

"Kalau begitu aku permisi dulu, Lady." Kemudian Paradisa pergi. Para pelayan yang mengawalnya juga ikut berjalan bersama sang Ratu.

Sesaat Esther bernapas lega, bisa menjawab rasa penasaran Paradisa.

Kemudian Esther menutup pintu, kembali ke kamarnya. Dan saat dirinya tidak sengaja melewati cermin lebar, Esther langsung terpaku menatap pantulan tubuhnya. Rambut keritingnya berantakan dan semakin mengembang. Esther juga menyadari beberapa bekas kemerahan di lehernya.

Dia mematung menghadap cermin. 

Mawar mekar itu telah gugur dengan hormat.
 
 

~☾☼~

SORROW [Vol. 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang