Nilaa menyuguhkan teh di atas meja untuk Arthur dan Elena. Dadanya sesak setiap kali melihat Elena, teringat akan Julian yang berada di atas tubuh Elena. Tapi, dia mencoba untuk bersikap biasa saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Julian mencoba menghindar dari Elena tapi Nilaa mencegahnya. Dia meminta Julian tetap di sana. Duduk bersama dengan mereka.
"Sangat malas bertemu denganmu, Arthur." Ucap Julian pedas.
"Aku tahu kamu marah padaku karena menikahi Elena." Entah kenapa Arthur malah mengatakan hal yang memojokkan Julian seolah dia masih menaruh perasaan pada Elena.
Elena tersenyum pada Julian.
"Aku muak dengan sandiwara kalian. Kalian sudah menikah hiduplah dengan tenang dan jangan pernah mengusik aku lagi." Pintanya terdengar putus asa bagi Julian yang pantang menyerah.
"Kalian yang bersandiwara." Elena berkata sembari mengalihkan tatapannya pada Nilaa.
"Apa maksudmu?" tanya Julian.
"Arthur bilang pernikahan kalian itu hanya sebatas pernikahan kontrak. Tidak sungguhan." Elena tersenyum licik pada Nilaa. "Kamu tidak bisa membohongi ini dariku, Julian."
Julian menatap Arthur. "Aku tidak mengerti dengan ucapan istrimu."
"Well, aku tahu kamu masih mencintaiku, Julian. Aku tahu karena kamu sempat mengatakannya sebelum percintaan kita dilihat oleh istri bayaran itu." Elena melirik Nilaa.
"Perlukah aku perjelas kalau aku sudah tidak mencintaimu lagi. Dan apa yang aku katakan waktu itu karena kamu bilang akan pergi setelah aku bilang cinta, Elena." Julian ingin sekali memukul Elena.
Astaga, dia tidak ingin kehilangan Nilaa. Dan kehadiran Elena hanya membuatnya semakin tidak waras.
Arthur hanya terdiam. Sesekali dia menatap Nilaa.
"Lalu untuk apa kamu menikahi Nilaa dengan pernikahan kontrak itu? Aku akan bilang pada nenekmu soal ini, Julian."
"Apa buktinya kalau pernikahan kami dan Nilaa adalah pernikahan kontrak?"
Elena melirik Arthur.
"Elena, ayo kita pulang." Arthur mulai tidak nyaman dengan tatapan Nilaa dan Julian.
"Kamu punya bukti soal pernikahan kontrak Julian dan wanita itu kan?" Tanya Elena dengan tatapan menuntut pada Arthur.
"Tidak. Aku hanya mengarang, Elena."
Dahi Elena mengernyit tebal. "Apa katamu?"
"Aku minta maaf, tapi, aku memang hanya mengarang soal pernikahan kontrak Julian dan Nilaa demi bisa membuatmu tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang milikku. Kamu menghancurkan reputasiku sebagai Arthur Reckleen dengan pergi keluar mengenakan gaun transparan dan datang ke kamar Julian." Sorot mata Arthur terlihat marah. Agaknya dia mulai muak dengan sikap Elena.
"Aku sudah tidak tahan dengan semuanya. Maaf, tapi lebih baik kita cerai saja." Arthur meninggalkan apartemen Julian. Dia sempat bersitatap dengan Nilaa sebelum pergi.
Elena terdiam. Kedua daun bibirnya terbuka. Dia tidak menyangka kalau Arthur akan bersikap begitu padanya. Dia tidak menyangka kalau Arthur akan meninggalkannya dengan cara yang tidak disukainya.
"Lihat, Elena, tidak ada orang yang sanggup bertahan dengan sikapmu meskipun Arthur mencintaimu, dia akan meninggalkanmu juga kalau sikapmu terus begini." Julian menatap Elena. Tatapan itu menyiratkan tak ada ketertarikan di sana. Julian sudah tidak peduli pada Elena. Posisi Elena tergantikan oleh wanita lain—Nilaa Reckleen.
Elena menampar Julian. "Aku tahu kamu masih mencintaiku, Julian. Terserah apa pun yang kamu bilang. Aku yakin kamu hanya berpura-pura. Aku tidak tahu sampai kapan kamu akan terus berpura-pura."
Julian menyadari satu hal kalau Elena sudah tidak waras lagi. "Kamu gila, Elena."
***
Julian tersenyum saat Nilaa menatap ke arahnya. "Bagaimana tadi?" sebelah alisnya terangkat.
"Arthur tahu soal pernikahan kontrak kita darimana?" Nilaa khawatir kalau Arthur dan Elena akan memberitahu nenek soal pernikahan kontrak ini.
"Arthur bilang sendiri kalau dia mengarang hanya untuk menenangkan Elena. Kamu harus sabar, Nilaa. Elena sangat terobsesi denganku. Mungkin baginya aku terlalu tampan dan hebat dalam menyentuhnya." Julian menepuk-nepuk bahu Nilaa.
"Kamu sama sintingnya dengan Elena." Nilaa bergidik ngeri dan segera meninggalkan Julian. Dia merasa lega karena ya, dia tahu dan percaya pada Julian kalau Julian memang sudah tidak mencintai Elena lagi.
"Kita perlu bicara, Nilaa. Kita perlu bicara di atas kasur kita yang empuk."
***
Julian berdiri di depan pintu kamar Nilaa selama 30 menit. Nilaa membiarkan Julian memanggil namanya berkali-kali. Dia enggan membuka pintu kamar karena tahu akan apa yang Julian inginkan.
Lalu, tiba-tiba pintu kamar Nilaa terbuka. Kedua daun bibir Nilaa terbuka saat melihat Julian bisa membuka pintu kamarnya.
"Bagaimana kamu bisa..."
"Aku pemilik apartemen ini, Nilaa. Kamu lupa? Tentu saja aku punya kunci cadangan."
"Kenapa kamu tidak membuka dari tadi?"
"Hahaha!" Julian terbahak. "Kamu ingin aku segera masuk ke kamarmu?"
"Aku cuma... merasa aneh saja kenapa kamu tidak membukanya daritadi dan menunggu lebih dari 20 menit untuk membuka pintu kamar?"
"Aku suka tantangan. Tantangan ini membuatku menunggu hanya untuk masuk ke dalam kamarmu." Julian membasahi bibirnya. "Sudah siap menerima pembalasan dendamku?" Sorot mata Julian seperti sorot mata yang pernah Nilaa lihat di mimpinya. Tapi mata Julian tidak merah. Hanya saja sorot mata itu seperti sorot mata iblis yang bernaung di mata Julian.
Nilaa mundur selangkah. "Pembalasan dendam apa?" Karena teringat mimpinya Nilaa mendadak merasa ngeri.
***
BAB 67 & 68 aku update di Karyakarsa ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boss and Secretary (Adult 21+)
Romance"Well, aku tahu kamu membenciku, Nilaa." Julian mendekati Nilaa. "Aku tahu keinginanmu untuk resign dari kantor. Mungkin kalau hutangmu lunas kamu akan resign dari kantor." Dahi Nilaa mengernyit. "Hutang?" "Kamu memiliki hutang atas nama ayahmu...