Chapter 42

5 0 0
                                    

"Ti-tidak!" Seorang prajurit Recanter berhasil melayangkan kapaknya tepat dipunggung Athall, dan prajurit itu tewas setelah kepalanya langsung dipenggal oleh Egoz.

Athall jatuh terduduk. "Kumohon, bertahan Athall! Tidak lagi... Athall!" Teriak Mithriel sambil masih memeluk Athall.

Athall masih bisa mengumpulkan kesadarannya, dia masih bisa merasakan pelukan hangat Mithriel. "Mith- Yang Mulia." Mulutnya mengeluarkan darah, dan dia semakin sulit bernafas.

"AAAAAAAKKKK!!!" Mithriel berteriak sangat kencang, tubuhnya mengeluarkan cahaya hijau menyilaukan, tidak hanya dia para sihir juga ikut bersinar terang. "Apa yang terjadi?" tanya Relos yang bingung melihat tubuhnya bersinar.

Banyak dari sebagian penduduk melihat kejadian itu. Cahaya yang dikeluarkan tubuh Mithriel terpancarkan ke langit yang mendung, dan perlahan hujan turun membasahi tanah. Mithriel masih memeluk tubuh Athall. Athall tidak berbicara apa apa, dia hanya dia merasakan pelukan hangat ditubuhnya yang perlahan melemah.

Hangat. Itulah pikir Athall.

"AAAAAGGGHHHHH" tubuh Mithriel semakin bersinar terang ditambah hujan deras dan bunyi gemuruh juga terdengar dilangit.

Dari sinar yang memancar ke langit itu, terlihat 12 cahaya meyilaukan turun bersamaan dengan air hujan.

"Apa itu?" tanya seorang penduduk yang menyaksikannya.

Tubuh mereka berdua basah karena air hujan, dan Mithriel sudah tidak merasakan hembusan nafas Athall. "Tidak, tidak, tidak, tidak! ATHALL!!" teriak Mithriel menatap wajah dingin itu. Dia tidak memperhatikan cahaya cahaya yang turun itu.

Salah satu dari cahaya itu mendekat "kekasihku..." dia memegang pundak Mithriel dari belakang. "Kau menyakitinya."

Mithriel menatap ke arah orang itu, benar itu Para Bintang di mimpinya. Tapi, bukan tatapan kesedihan yang ia pancarkan tetapi tatapan marah. Bahkan Para Bintang mundur satu langkah melihat tatapan mata Mithriel. Tidak ada pupil hijau, hanya cahaya hijau menyala dimatanya. "Diam."

"Diam, jika kalian tidak membantuku." Dia memegang tubuh Athall erat.

"Kami datang untuk membantu," ucap Para Bintang yang lain maju ikut mendudukan dirinya sejajar kepada Mithriel dan berhadapan dengan tubuh Athall yang tidak bernyawa.

Ke-dua belas Para Bintang duduk mengelilingi Mithriel dan Athall, cahaya hijau yang masih menyelimuti tubuh Mithriel kini berganti menjadi cahaya putih lembut yang hangat ditengah cuaca dingin.

Para Bintang meletakkan tangan mereka di pundak Mithriel dan tubuh Athall. Dengan serempak mereka mengalirkan kekuatan yang sangat besar ke tubuh Mithriel dan Athall, cahaya putih itu perlahan menghilang bersamaan dengan wujud Mithriel yang ikut berubah menjadi manusia biasa. Dan Athall lukanya perlahan menutup dan tubuhnya juga kembali hangat.

"Sihir kegelapan yang mengelilingi Mithriel menghilang," ucap Nincel.

Selesai Para Bintang memberikan sihir ke mereka, cahaya yang ada ditubuh Mithriel langsung memudar. Tubuhnya sudah membaik, tapi Athall belum sadarkan diri. "Bagaimana....?" Lengsa mendekat.

"Ini hasil dari kekuatan yang kami kumpulkan selama berpuluh-puluh tahun. Dan tentunya kekuatan aneh milik kekasih yang berharga sangat membantu," ucap salah seorang Para Bintang. "Sekarang dia bisa menggunakan sihirnya, tapi dia hanya bisa menggunakannya saat ia memakai senjata senjatanya itu."

Dalam diam Mithriel, dia hanya menunggu Athall untuk bangun. Sambil berharap-harap cemas dan jantung yang berdetak kencang hingga jika kau merupakan keturunan serigala kau bisa mendengarnya.

Gerakan gerakan kecil mulai bisa Mithriel rasakan. "Athall...." Panggil Mithriel pelan. Yang dipanggil perlahan mengerjapkan matanya, air hujan perlahan reda, matahari muncul dari balik awan, Athall bisa melihat wajah Mithriel yang sembab. "Yang Mulia," balasnya dengan senyum.

Mithriel memeluknya sangat erat. Tubuh Mithriel bergetar hebat. "Jangan menangis, aku kembali." Athall mengusap air mata Mithriel.

Banyak penduduk yang melihat ke arah Para Bintang, mereka langsung membungkuk hormat. Bahkan jika bisa dirasakan semilir angin, rumput yang bergoyang, air sungai yang mengalir, bahkan hutan yang berada dibelakang, mereka membungkuk memberi hormat kepada Para Bintang.

Para Bintang, mereka yang menemukan sihir, mereka yang menenangkan angin, mereka menghilangkan racun yang mengalir dari sungai, mereka juga yang menanam pohon di hutan ini. Para Bintang tidak disembah, mereka dihormati. Mereka bukan Tuhan ataupun Dewa, mereka hanya manusia yang penuh dengan keajaiban dan sangat baik. Dinamakan Para Bintang karena tubuh ke-dua belasnya bisa bersinar bagai cahaya.

Kekasih Para Bintang adalah orang-orang terpilih yang hidupnya dihantui kegelapan-kegelapan. Hanya sekian orang dari berabad-abad lamanya yang mengalami hal kegelapan itu. Tapi, Mithriel dan Ibunya berbeda, mereka lemah dan kegelapan melahap kehidupan mereka.

***

Kekacauan dimana-mana, tidak ada korban jiwa tetapi mayat mayat dari prajurit Recanter harus disingkirkan.

Dan prajurit yang dibiarkan hidup segera Mithriel interogasi sendiri. "Katakan padaku rencana kalian," ucap Mithriel duduk dihadapan prajurit yang diikat itu. Berkali-kali prajurit itu menggigit lidahnya agar tidak membocorkan rencana apapun walau dia disiksa.

Tapi, berkali-kali juga Nincel menyembuhkan lidahnya itu. "Kau tidak akan mati jika hanya bergantung dengan lidah tergigit, aku akan menyembuhkanmu bahkan jika seribu kali kau lakukan." Nada bicara Nincel yang ditekan membuat siapapun akan terdiam jika mendengarnya.

"Kami tidak akan membunuhmu, tetapi kau harus menghadapi siksaan yang lebih hebat, dibanding pembunuhan yang kalian lakukan terhadap keluargaku!" Mithriel menekan belatinya perlahan, menyiksa prajurit Recanter itu.

"Katakan!" pekiknya.

Mata merah menyala itu memandang remeh kearah Mithriel, dia menyunggingkan senyumnya.

"Kau pikir aku akan melakukannya? Aku tidak takut mati, Yang Mulia," ucapnya sambil menatap mata hijau menyala Mithriel.

Mithriel menggeram marah, dia harus benar benar menahan diri agar tidak meledakkan amarahnya disini. Saat ini dia menggenggam erat belatinya, dan sedikit percikan percikan petir mulai keluar dari belati itu.

Nincel kemudian maju, dia memegang bahu Mithriel seolah mengucapkan biar aku saja. Mithriel mundur beberapa langkah, membiarkan Nincel yang mencoba menginterogasinya.

"Kau ketakutan," ucap Nincel kepada Prajurit Recanter itu.

"Takut? Untuk apa aku harus takut?" Nada bicara yang menganggap remeh. "Dia hanya manusia yang tidak bisa menggunakan sihir." Prajurit yang masih terduduk dengan tangan diikat itu terus menganggap remeh Mithriel, seolah Mithriel adalah hama yang dengan mudah dibasmi.

Nincel sudah jengah mendengar prajurit itu meracau yang bukan-bukan, jika dia tidak menahan diri mungkin sekarang prajurit di depannya ini sudah mati. Tapi perintah tetap perintah, prajurit ini harus bicara mengenai rencana Recanter atau mereka bisa bergerak dan menyerang Tuneca lagi.

"Tidak bicara juga?" tanya Egoz menyusul mereka ke ruang bawah tanah, membawa minuman untuk Nincel dan Mithriel. Mithriel menggeleng sebagai jawaban. Sudah berjam-jam mereka menginterogasinya tapi tidak ada sepatah-kata pun keluar.

Mereka bertiga terdiam, memikirkan hal yang bisa dilakukan. "Sean!" seru Nincel tiba-tiba. "Dia bisa menggunakan sihir penghubung pikiran tingkat tinggi, tinggal hubungkan pikiran prajurit itu dengan pikiran 'ku."

"Kau yakin itu akan berhasil?" tanya Mithriel. Dia hanya melihat Sean menggunakannya untuk bermain-main.

"Walau banyak tanya, anak itu sangat hebat." Nincel menyeringai. Prajurit itu hanya menatap mereka bertiga bergantian.

"Baik, panggil Sean sekarang."

Si Petualang dengan Busur || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang