Chapter 45

5 0 0
                                    

"Ini rapat terakhir, dan disini saya akan menjelaskan bagaimana strategi yang akan kita lakukan." Mithriel membuka peta yang sangat besar hingga menutupi seluruh meja di ruang rapat. Banyak sekali pemimpin dari berbagai bangsawan dan makhluk bangsa lain.

Semuanya menatap serius ke arah Mithriel. Siapa sangka perang seperti ini dipimpin anak seusianya? Dan dia memimpin orang orang yang umurnya lebih tua dari ayahnya.

"Seribu pasukan dari kedua Kerajaan Elf menangani barisan belakang sebagai pemanah, untuk Kerajaan Kurcaci saya mempercayai kalian di barisan depan bersama dengan Centaur dan Satyr, untuk para Peri saya akan mempercayai kalian pada serangan udara, para penyihir saya berharap banyak kalian dapat mengatasi serangan sihir kegelapan yang bisa saja menjadi senjata pemusnah, untuk Para Serigala kalian bisa bertarung seperti kalian berburu dimanapun. Saya mau kalian menjadi lebih kejam daripada biasanya, dan untuk seluruh pasukanku dan Kerajaan Utara kami akan menyerang dari sisi kiri dan kanan. Begitu mereka menyerang langsung ke arah pasukan Kurcaci kita bisa menyerang dari sisi kiri dan kanan untuk mengepung mereka dan membiarkan Elf menghujani mereka dengan panah sihir. Kalian semua ahli dalam sihir, jadi saya berharap banyak. Pasukan kita lebih banyak dari mereka, saya harap kita bisa menang." Mithriel memberi tahu rencananya dengan sangat detail bagaimana penyerangan yang harus mereka lakukan.

"Bagaimana dengan pohon pohon yang mendukung mereka? Kita bisa kalah jika membiarkan hutan itu begitu saja," ucap salah satu Pemimpin dari Centaur.

"Aku sudah menyerahkan itu kepada Para Bintang, mereka bersedia membantu," ucap Mithriel.

Bangsa lain selain manusia dan penyihir disini masih menggunakan senjata yang dilapisi sihir, karena itu Mithriel juga berharap banyak.

Setelah rapat selesai para pemimpin itu kembali ke tanah mereka, menyiapkan pasukan mereka sendiri sebelum akhirnya nanti mereka akan tiba lagi di Kerajaan Tuneca. Setelah semua pergi Mithriel terduduk di ruang rapat itu sendirian, meyakinkan diri bahwa ini yang terbaik yang bisa dia lakukan.

Dia kemudian bangkit, saat berjalan suara dari baju zirah yang ia pakai terdengar. Ia mengambil pedang dan belati yang ia bawa. Busurnya ia tinggalkan di pelana Kuda, Mithriel memantau keadaan pasukannya yang kini sangat sibuk kesana kemari. Tujuh ribu pasukan yang mereka punya, dan mereka harus menang di awal pertempuran ini. Setelah menang dengan pertempuran ini, Mithriel memiliki rencana lain untuk pertempuran kedua.

Athall datang, dia mendekat ke Mithriel. "Menurutmu, kita bisa menang?" tanya Mithriel pada Athall.

Athall menggeleng, bukan jawaban tidak, "aku tidak tahu, semoga saja."

Beberapa jam kemudian seluruh pasukan sudah berkumpul, ini sudah hampir petang dan beberapa jam lagi matahari akan hilang. Seluruh penduduk sedang dievakuasi, pasukan Mithriel mulai berjalan menuju lapangan berbukit dekat hutan. Mithriel bisa melihat bagaimana sulur-sulur akar mencoba menembus pertahanan Penyihir.

Dan Mithriel bisa melihat cahaya cahaya merah dari balik hutan gelap itu. Para Serigala sudah menggeram marah begitu mereka bisa melihat hutan yang ada di depan mereka.

Mithriel bisa melihat di mata para prajurit yang ia pimpin ada sedikit ketakutan, tetapi mereka juga tidak ingin kalah.

Kuda yang ia tunggangi melangkah maju, Mithriel menatap ke arah mereka dan berkata, "Jangan biarkan mereka membantai ayah dan ibu kalian, jangan biarkan mereka membantai istri dan anak kalian. Merekalah yang memimpin kekejaman pada masanya dahulu, dan kalian harus tetap merasakan kebebasan yang masih kalian dapatkan hingga sekarang karena perjuangan kalian dulu! UNTUK TUNECA!!!"

Mithriel mengangkat pedangnya tinggi, kemudian seluruh pasukan ikut berteriak mengikutinya. "UNTUK TUNECA!!" Dia mencoba membakar api semangat yang mereka punya, dan sekarang ketakutan yang ada di mata mereka sebelumnya sirna.

Si Petualang dengan Busur || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang