Bab 45. Hari Terakhir

2.4K 243 43
                                    

To be continue...
.
.
.
.
.

Kegelapan mulai menyelimuti bumi, kobaran api dari kayu masih menyala di area medan perang. Para ksatria yang masih hidup melakukan upacara kremasi untuk teman-temannya yang gugur.

Begitu banyak korban berjatuhan baik dari pihak Pandawa ataupun Kurawa, khususnya Kurawa yang paling banyak jumlah korbannya. Dan dari itu pula sudah terlihat bila pasukan Pandawa akan memperoleh kemenangannya, karena pasukan Kurawa pun sudah tak banyak jumlahnya.

Pertempuran di hari ke 17 itu sungguh membuat banyak tumpukan kepala manusia, jumlah manusia yang tewas pun tak main-main sekitar 8 juta jiwa. Banyak anak yatim dan para janda yang ikut melakukan upacara kremasi ayah dan suami mereka, adapula janda-janda yang ikut membakarkan diri bersama jasad suami mereka, sehingga area medan perang itu penuh dengan darah, jeritan dan tangisan mereka.

Oh Ya Dewa manusia, apakah itu harga dari sebuah kebenaran yang ditegakkan? Apakah itu harga dari sebuah takhta Hastinapura serta harga dari pelecehan istri Pandawa.
Perlukah melampiaskannya pada orang-orang dari kasta bawah yang tak punya pilihan selain menuruti perintah dari atasannya. Perlukah membasmi kaum ksatria yang bergerak di jalan adharma dengan cara seperti itu? Memang siapa korban terbesar bila bukan anak, istri dan ibu mereka.

Setelah membuat keadaan seperti itu, masih pantaskah dikatakan sebagai penegak kebenaran dan pemberantas kejahatan. Ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa seorang Pahlawan itu tak menimbulkan korban untuk kaum yang lemah dan yang tak mampu melawan.

Sang Ksatria wanita itu berjalan masuk kedalam tenda sang Ratu, dia berjalan amat pelan, tak menimbulkan suara agar tak menganggu. Penampilannya semakin buruk dari hari ke hari, pakaian hitam nya nampak usang, matanya pun sudah redup, tubuhnya sudah kotor oleh debu dan darah, rambut sebahunya pun sudah tak lembut dan kusut.

Tak ada wajah keceriaan didalamnya, hanya sebuah kesedihan dan rasa takut. Keceriaannya sudah dirampas oleh kekejaman perang, kebahagiaannya sudah dihancurkan oleh kerasnya pembunuhan.

Menangis pun sudah tak mampu, air matanya sudah habis menangisi kepergian kekasihnya dan kakak-kakaknya. Gadis itu duduk di sebelah ranjang, dia menatap ibunya yang sedang tertidur pulas, nampak ibunya itu tengah memeluk kendi yang berisikan abu jenazah putra-putranya.

Ibunya yang malang, ibunya yang paling banyak menanggung penderitaan dari kelakuan anak-anaknya.
Ibunya yang yang telah kehilangan kecantikannya, rambut hitamnya pun telah memutih dalam waktu 17 hari. Ibunya yang telah kehilangan putra-putranya, dan besok adalah puncak dari kesedihannya. Dia akan kehilangan seluruh anak-anaknya tanpa sisa.

Selama ini Sara tak memiliki muka untuk menemui Gandari, dia malu, padahal dia penitisan dari Dewi Penyembuhan, tapi ia malah membiarkan kakak-kakaknya tewas mengenaskan, rupanya Dewi Penyembuhan sepertinya akan kalah bila dihadapkan dengan Dewi kematian.

Gadis itu mengigit bibirnya kuat-kuat, menahan isak tangisnya. Akan seperti apa kesedihan ibunya bila mendengar kematiannya dan Duryudana nanti.

Setelahnya pasti ibunya akan melampiaskan rasa sedih dan amarahnya pada Basudewa Krishna, ibunya akan mengutuk Sri Krishna yang mengetahui segalanya tapi tak mampu menghentikannya. Dan Sara tak peduli soal itu, dia tak berniat menghentikan kutukan ibunya pada Sri Krishna.

Gadis itu menatap dalam ibunya, dia melihat setiap inci wajah keriput ibunya tak terkecuali, karena setelah ini dia tidak akan melihat rupa ibunya lagi.

Dursala membasuh kaki ibunya dengan kain yang telah dibasahi air hangat. Ini adalah bakti terakhirnya, ini adalah penghormatan terakhirnya. Karena besok adalah hari terakhir perang, dan takdirnya untuk bertemu ajalnya. Entah mati terkena senjata ataupun sebagai tumbal kekalahan para kakaknya.

Second Life SARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang