Bab 46. Final

2.7K 283 62
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.

"Hentikan Dursala! Menyerahlah, Kau sudah kalah."Kata Arjuna, pria itu bergerak untuk mendekatinya. Dia seperti ingin memeluk tubuh gadis itu, sungguh tak tega hatinya melihat penderitaannya.

"Diam ditempatmu Arjuna! Kemenangan ini bukan ditandai dengan kematian Duryudana, melainkan dengan Yudistira yang duduk diatas singgasana! Sedangkan kau tidak bisa duduk diatas singgasana sebelum melewati mayatku, Dewi pelindung Hastinapura." Katanya lagi.

"Sara lebih baik aku tak duduk diatas singgasana daripada harus.."

"Sekarang bukan saatnya untuk menggunakan perasaanmu kak." Gadis itu memotong perkataan Yudistira.

Tanpa aba-aba dia mengambil pedangnya, serta mengambil sembarang pedang yang mungkin milik seorang ksatria yang telah gugur. Dia melemparkannya pada Nakula, dengan refleks Nakula langsung menangkapnya.

"Mari berduel denganku Nakula, sampai salah seorang diantara kita mati." Tantangnya.

Pria itu menggelengkan kepalanya, dia menundukkan kepalanya menahan tangisnya.
"Tidak mau! Aku tidak mau menyakitimu Sara."

"Kau tak punya pilihan lain, kau harus mengakhiri perang ini layaknya seorang ksatria."

Karena terus didesak mau tak mau Nakula menurutinya, alhasil kedua kakak beradik itu saling berhadapan dengan pedang yang sesungguhnya.

Padahal dahulu kedua orang itu sangat akur dan saling menyayangi, waktu kecil mereka sering beradu pedang yang terbuat dari kayu agar tak melukai.
Tapi lihatlah sekarang semesta! Kalian yang membuat mereka harus berhadapan dengan niat saling membunuh.

Adik perempuan Pandawa yang seharusnya mereka jaga, malah akan mereka lukai. Pengorbanan Sara untuk merekapun tak main-main, tapi gadis itu hanya mendapatkan balasan berupa resiko untuk kehilangan nyawanya.

Dengan tangan yang gemetar mereka saling menyerang satu sama lain, kemampuan mereka seimbang tapi mereka saling merendah.

Benarkah ini adalah kebajikan yang sesungguhnya, mengangkat senjata pada adik perempuannya. Nakula berkali-kali ingin melarikan diri, tapi Dursala terus mendesaknya dan mengunci pergerakannya.

Kedua orang itu saling menatap, mata mereka telah memerah. Inilah akhir dari ikatan persaudaraan dan kasih sayang yang mereka bangun sejak kecil.
Kedua orang itu telah bersiap saling menghunuskan pedang, mereka berlari mendekat dengan menodongkan pedangnya satu sama lain.

Nakula memejamkan matanya rapat-rapat, dia bukannya takut melihat kematiannya ditangan Sara, melainkan saat pedangnya akan menancap di tubuh gadis yang ia sayangi.

Bruk! Seseorang jatuh diantara mereka berdua, pedang telah menembus kedadanya, orang itu memuntahkan darah segarnya, tak terbayang rasa sakitnya saat pedang tajam itu membelah tulang dadanya.

Mata birunya mulai kabur, tubuhnya tak bisa digerakkan, dia tersengal-sengal menahan rasa sakitnya kematian yang dihadapkan padanya. Dia akhirnya gugur sendirian sebagai anggota terakhir Kurawa.

"Sara."

Kelima Pandawa terduduk di atas tanah saat melihat gadis yang mereka cintai itu sedang diambang ajalnya. Mereka seolah kehilangan diri mereka saat Sara akan pergi jauh dari mereka. Basudewa Krishna pun tak berhenti menangisi kepergian adiknya.

"Sara, kenapa?" Tanya Nakula tersedan-sedan, gadis itu tak melukai Nakula barang sedikitpun.

Saat mereka saling menghunuskan pedang, Sara menerima pedang Nakula untuk membunuhnya, sedangkan pedangnya sendiri ia jatuhkan, sengaja tak melukai Nakula. Sebelum roboh gadis itu hanya memberikan sebuah jentikan pelan di kepalanya, layaknya seorang saudara yang menyayanginya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, bersuara pun sudah tak sanggup. Pancaran matanya sama dengan pancaran mata Karna, gadis itu menatap teduh pada Pandawa tanpa sedikitpun rasa dendam dan kebencian.

Dursala mencintai Pandawa, Pandawa selalu berlaku baik padanya sedari kecil. Jadi mana mungkin dirinya akan tega menyakiti kakak-kakaknya yang ia sayangi, serta Karna pun menyayanginya pula. Dursala memilih kematiannya untuk membuka jalan bagi Pandawa sebagaimana yang dilakukan Ksatria Bisma dan Karna.

Biarkan Para Pandawa memimpin dunia ini dengan kebajikannya, biarkan para ksatria yang berjalan di jalan adharma ditumpas habis dari bumi para manusia.
Itulah kodrat mereka, itulah yang diinginkan para Dewa, bumi hanya diisi oleh manusia-manusia yang bermoral.

Gadis itu berbaring di tanah Kurusetra, tanah air miliknya, tanah kelahirannya. Darah dan airmata nya tak henti membasahi bumi Hastinapura-nya.

Hanya satu penyesalan Sara, dia tak mampu hidup sebagaimana yang diharapkan kakak-kakaknya dan Karna, dia tak memenuhi keinginan mereka untuk hidup bersama Gandari dan melanjutkan tugas mereka untuk menjaga ibu mereka.

Perlahan tangannya terulur pada mayat Duryudana yang berada tak jauh darinya, dengan susah payah dia merangkak mendekati mayat kakaknya. Dia menyeret tubuhnya hingga meninggalkan jejak darah disetiap seretan nya. Dia ingin melihat kakaknya untuk terakhir kali sebelum kematian datang padanya.

Hal itu membuat Balarama iba akan nasibnya,
"Biar saya bantu sahabat ku." Katanya, pria itu mengendong Sara dengan hati-hati, tubuh gadis itu seperti akan terlepas bila ia sembrono sedikit saja.

Tubuh Sara berbaring disebelah kakaknya, dia menggenggam jemari Duryudana sebagaimana yang sering kakaknya lakukan padanya. Dia ingin menggengam tangan Duryudana diakhir hidupnya.
Kakaknya yang garang tapi sangat mencintainya, yang selalu melindunginya dari siapapun yang ingin menyakiti dan yang berniat menculiknya.

Maaf Karna saya tak menuruti keinginanmu untuk terus hidup.

Gadis itu memenuhi isi kepalanya dengan kenangan yang ia bangun bersama Kurawa dan Karna, kakak-kakaknya itu sangat posesif bila menyangkut tentang Karna.

Kurawa sering bergilir, membagi tugas mereka untuk menjaga adik perempuan mereka saat Karna berkunjung ke istana. Bahkan ketika batang hidung Karna baru terlihat pun mereka sudah menyoraki Karna agar angkat kaki dari Hastinapura, serta mendesaknya mundur dari jabatannya. Mereka seperti ingin membuat adik perempuannya melajang seumur hidupnya agar bisa menemani mereka.

Gadis itu tertawa dengan air matanya yang terus mengalir, bisakah momen-momen seperti itu ia rasakan kembali, sedangkan semua orang telah meninggalkannya. Dan sekarang adalah akhir dari kisah hidupnya, sudah tak ada lagi Kurawa dan Karna dimuka bumi. Hanya tersisa kenangan yang tak mungkin diulang kembali.

Terimakasih untuk kehidupan kali ini, saya tidak menyesali takdir yang dituliskan pada saya.

Gadis itu memejamkan matanya untuk selamanya, rasa sakit yang ia rasakan sudah tak ada lagi. Dia memilih gugur, dia tak menyesal mengakhiri hidupnya sebagai ksatria Hastinapura.

Dia mengubah kematiannya yang harusnya sebagai tumbal kekalahan kakaknya menjadi cara yang lebih terhormat, yaitu seorang ksatria yang gugur untuk negara dan keluarganya, serta membuka jalan untuk kemenangan Pandawa.

Tubuhnya mulai berubah menjadi kelopak-kelopak bunga lotus biru yang berterbangan, karena tubuhnya yang berunsur Dewi. Hujan mulai turun membasahi tanah dinasti Kuru untuk menunjukkan kedukaannya atas kepergian putri dan Dewi mereka.

Pada akhirnya pun kau tetap melakukan tugas dan janjimu pada Santanu untuk menjaga Hastinapura. Dursala sang penitisan Dewi Mariamman, dia memberikan energi terakhirnya untuk mengembalikan daya hidup dari segala kerusakan akibat keganasan perang. Bumi Hastinapura itu kembali menemukan kesuburannya.

                 ~~~TAMAT~~~~

Air mata seorang brahmana abadi itu menetes di kolam miliknya, dia meraba lembut dua tangkai bunga teratai yang memiliki warna berbeda, warna kuning seterang matahari dan warna biru sesegar air hujan.
"Rupanya kedua murid kebanggaanku sudah gugur, mereka benar-benar melakukan tugasnya sebagai seorang ksatria hingga akhir."

"Selamat tinggal Dursala dan Karna, semoga semesta memberikan keadilan atas segala perjuangan kalian."

Tmg, 23 Desember 2023

Second Life SARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang