KABUT-48 | Seluas Langit, Seindah Senja

30 1 0
                                    

Seperti langit, tumbuhlah dengan hati yang luas: mudah memberi maaf, memahami perbedaan dan menerima setiap warna kehidupan. Milikilah hati yang penuh dengan kebaikan, cinta, dan makna. 

~KABUT

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Suara tangisan bayi membuatku terbangun dari mimpi indah bertemu dengan mas Tegar. Aku membuka mata dan melihat ibu yang tengah menggendong anakku dengan penuh perhatian sembari menimang-nimanginya. Mama, yang berdiri di sampingnya, tampak mencoba bersuara menenangkan putraku itu. Sedangkan ayah dan papa, duduk disofa dengan tetap memperhatikan mereka. 

"Kenapa ma, bu?" Tanyaku pada mama dan ibu. Wajah mereka sudah tampak sangat kelelahan. Sepertinya putraku menangis sedari tadi, namun mereka tidak membangunkanku, mungkin tidak tega melihat tidurku yang sangat nyenyak. 

"Sepertinya dia haus, susuin dulu ya." Kata ibu lembut. Mama beralih membantuku untuk duduk. Bekas operasi caesar kemarin, masih terasa sakitnya, aku masih memerlukan bantuan, bahkan hanya untuk sekedar bangkit dari tidurku. Kemudian ibu memberikan bayi itu padaku dengan hati-hati. Tangisnya berhenti ketika ia mulai berada dipangkuanku.

"Ututututu, anak bunda haus yaaa. Maaf yaaa bunda terlalu nyenyak tidurnya." Kataku pelan.  Dia sangat semangat meminum asiku, bundanya.

Aku memperhatikan wajahnya yang mungil. Rasa lelah dan sakit, hilang begitu saja ketika melihat tubuhnya. Ibu duduk disampingku, memperhatikan dengan tatapan yang sulit sekali aku artikan. Ada rasa bahagia, namun tersirat juga rasa sedih yang sangat dalam. Aku sangat tahu perasaannya saat ini, ibu memang bahagia, namun kesedihannya tetap lebih besar ketika mengingat mas Tegar, anak semata wayangnya yang tidak bisa melihat putra pertamanya. 

"Ganteng ya. Mirip sekali dengan Tegar waktu bayi." Kata ibu dengan suaranya yang lembut. Matanya berkaca-kaca. Tangannya, mengelus lembut pipi putraku. Kesedihannya tidak bisa ia tutupi dariku.  

Aku pernah melihat foto masa kecil mas Tegar, dan itu sangat mirip dengan putranya sekarang. Wajar jika ibu akan selalu teringat mas Tegar, ketika melihat cucu pertamanya. Mata ibu masih terus memandang wajah kecil yang tertidur pulas di pangkuanku. Tatapannya menceritakan kisah panjang yang tersembunyi di balik senyum dan tangis bahagianya.

"Tegar pasti sangat bahagia." Lanjutnya. Tidak ada yang menjawab perkataan ibu. Semua larut dalam kesedihan ketika mendengarnya. Suasana menjadi hening. 

"Pasti gantengnya. Siapa dulu kakeknya?" Kata ayah dengan senyum di wajahnya, berusaha memecah keheningan yang terasa begitu berat. Kesedihan yang dirasakan istrinya, adalah kesedihan yang sama seperti yang ia rasakan. Namun ayah selalu berusaha kuat, tidak berlarut dan tidak mau jika di moment kebahagiaan ini, terselip rasa duka yang kami semua rasakan. 

"Saya pak Endra. Hehehehee." Kata papa menjawab perkataan ayah dengan nada bercanda. Aku, ibu, dan mama sedikit tertawa. Sedangkan ayah, mengernyitkan dahinya tidak terima dengan perkataan ayah "Kita pak Tara hahhaahaha. Tapi gen gantengnya dari saya pak." Katanya, lalu tertawa geli. 

Papa yang tidak mau mengalah, membalas ucapan ayah lagi "Yaaa jelas saya, kan yang hamil anak saya, pak Endra."

Candaan mereka membuat keheningan tadi menjadi kehangatan. Mereka menghibur semuanya, air mata yang tadinya berat, berubah menjadi tawa kecil yang menyegarkan. Rasa sakit yang terpendam oleh kesedihan di wajah ibu seakan mendapat jeda, meski hanya sejenak.

"Eh eh malah ribut." Tegur mama tidak mau perdebatan itu berlanjut. Ayah dan papa yang duduk bersebelahan, tertawa terbahak. Ibu juga tertawa, lalu menegur agar memelankan suaranya, khawatir putraku akan terganggu.

Kabar Baik Untuk Tegar | KABUT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang