29

4.6K 411 79
                                    



Renjun duduk disalah satu kursi tunggu yang ada dilobi rumah sakit.

Ia sedang berfikir.

Tapi semakin ia berfikir, semakin ia merasa semuanya semakin janggal.

Ada yang salah.

Renjun masih berusaha menghubungi ponsel Jaemin saat seseorang diseberang sana menjawab panggilan itu.

"Jaem,." Dia hampir merasa senang, tapi kemudian ketika orang diseberang berbicara lebih banyak, senyumnya mengambang diudara.

Tepat disaat yang sama, sepatu Jeno berhenti tepat didepannya.

Begitu Renjun mendonggak untuk mempertemukan mata mereka, wajah panik Jeno, suara ditelpon yang masih menempel ditelinganya seolah menjadi jawaban untuk pertanyaan yang belum sempat untuk ia lontarkan.

Renjun kehabisan kata - kata ditempatnya.

Panggilan itu putus setelahnya.

"Itu,. itu bukan kau kan?" tanya Renjun. Matanya yang tadinya hampir penuh harap, berubah pias.

"Lee Jeno!" Renjun memekik ditempatnya. Seolah mengabaikan fakta bahwa ia sedang berada di rumah sakit.

Jeno diam ditempatnya, dia tidak paham kenapa Renjun begitu. Tapi kemudian, Renjun meninggalkannya dengan gerakan terburu, panik.

Jeno diam sebentar sebelum mengikuti langkah Renjun dan meraih lengannya.

"Jelaskan padaku." ucap Jeno tajam.

Tapi tidak. Itu bukan waktu yang tepat. Renjun menepis tangan Jeno kasar sebelum berusaha pergi dari sana. Jeno menangkap lengannya lagi dan lagi.

Sampai pada batas emosi Renjun, ia melayangkan satu tamparan keras kearah Jeno.

Tamparan itu berhasil membuat keduanya diam ditempat dengan Renjun yang berdiri dengan nafas memburunya. Air matanya bahkan sudah jatuh.

"Jika terjadi sesuatu pada Jaemin, aku akan memastikan kau akan menyesal seumur hidupmu." ucap Renjun menghapus air matanya yang jatuh dengan kasar sebelum berlari menghampiri taxi yang berhenti disana.

Jeno diam sebentar, ini seperti de javu. Ia pernah mengalami ini sebelumnya. Setelah Jaemin hilang dulu, Renjun juga datang padanya dan melakukan hal yang sama. Melayangkan satu tamparan keras tepat dipipi yang sama.

Jeno tidak mungkin lupa.

Karena itu tamparan pertama yang ia dapat dari orang yang jauh lebih kecil darinya.

Tapi Jeno tidak punya waktu untuk berfikir lebih banyak. Ia dengan gerakan cepat berlari menyusul Renjun. Dengan taxi lain tentu saja.

-

Lalu pada akhir dari semua itu,

Di sinilah Jeno berdiri.

Dia diam ditempatnya, menatap pias entah kemana.

Rasanya kepalanya seperti baru saja di hantam benda tak kasat mata.

Berbeda dari Jeno, Renjun yang tiba lebih dulu, sudah jatuh terduduk lemas di lantai.

Piasnya, sama dengan Jeno.

Mereka berdua hampir tiba di kantor polisi bersamaan, dan mereka berdua bereaksi demikian setelah polisi menjelaskan lebih banyak.

Seseorang baru saja melakukan bunuh diri.

Dan Renjun adalah nomor darurat pada ponsel korban.

Kurang lebih begitu.

Renjun di sana untuk mengomfirmasi kebenaran.

Lalu ketika Renjun di hadapkan pada barang terakhir yang Renjun kenali dengan baik, ia berakhir jatuh terduduk dilantai.

Memories|NOMIN {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang