23

4.3K 401 109
                                    



7 Tahun Lalu

Malam itu, Jeno hancur.

Hatinya patah, tapi apa yang sebenarnya jauh lebih mematahkannya adalah fakta bahwa dia adalah orang yang memilih untuk datang terlambat.

Seandainya dia tidak berfikir berulang kali, seandainya dia datang lebih cepat, semuanya tidak akan berakhir seperti itu.

Bahkan jika bukan untuk perasaannya sebagai seorang pria, Jaemin tetap Jaemin. Bahkan jika bukan untuk perasaan yang lebih dari pertemanan, mereka tetap teman. Mereka tumbuh bersama hampir seumur hidup mereka.

Jeno meninggalkan Jaemin terlalu jauh. Padahal dia adalah Jaemin. Padahal Jeno tau apa arti dia untuk Jaemin.

Malam itu, Jeno tidak kembali pada pertemuan keluarga yang ia tinggalkan. Sebagai gantinya, Jeno duduk dibar di dalam hotel.

Sebenarnya Jeno bukan maniak alkohol atau semacamnya. Jeno cukup disiplin tentang kesehatan. Tapi malam itu, dia meneguk lebih banyak alkohol.

Pikirannya kacau.

Dia tidak peduli lagi dengan acara makan malam atau ponselnya yang terus berdering sejak tadi.

Kepalanya terlampau penuh. Tapi Jeno bukan orang yang senang tenggelam dalam patahnya. Dia tidak ingin menikmati itu lebih banyak.

Jeno benci ketika ingatannya tentang Jaemin datang. Tentang masa - masa terbaik yang mereka lalui bersama. Tentang bagaimana Jaemin tersenyum lebar disekitarnya, bertingkah dengannya, dan merengek padanya. Dulu, dia suka semuanya.

Dulu semuanya sempurna. Mereka menghabiskan jam sekolah dengan mencoba semua hal yang Jaemin suka. Mereka belajar sembari diam - diam menautkan tangan dibawah meja menghindari guru private yang bubu bayar, mereka yang menghabiskan banyak waktu hanya untuk membuat kue diapart Jaemin yang selalu berakhir gagal atau hari lain bagaimana Jaemin membersihkan rambutnya dan memotong kukunya.

Hampir semuanya, hampir disetiap detik dalam ingatan Jeno, Jaemin ada disana.

Sampai satu titik dimana dia mulai bosan dengan rutinitas berulang dan orang yang sama. Jeno itu anak muda. Dia suka tantangan dan sesuatu yang mirip dengan itu. Jaemin terlalu mudah untuk pubertasnya.

Sialnya, malam itu, punggung ramping Jaemin adalah semua yang menyakiti Jeno. Dia menjaga Jaemin sebaik mungkin bahkan sampai pada titik, Jaemin menjadi jauh lebih berharga dari pada apapun. Tapi disanalah punggung ramping itu berakhir.

Disinilah keserakahan membawa Jeno pergi. Dia pergi terlalu jauh, dan Jaemin tertinggal terlampau belakang.

Jeno mengepal tangannya kuat.

"Berikan aku sesuatu yang lebih keras." ucapnya pada bartender kemudian.

Malam itu, Jeno sadar salahnya dimana, tapi dia adalah pria dengan ambisi besar. Tapi ambisinya bukan sesuatu yang mudah untuk ia tanggalkan.

-

Hyunjin sudah rapi dengan pakaian lain ketika ia mengambil duduk disofa tak jauh dari ranjang tempat Jaemin berbaring.

"Hei, bangunlah. Aku tau kau sudah sadar." ucap Hyunjin.

"Apa kau melakukannya?" tanya Jaemin, suaranya parau, entah dari nangisnya yang diam - diam atau kesadarannya yang baru kembali beberapa waktu yang lalu, atau mungkin keduanya. Dia masih diposisi yang sama. Bedanya, separuh tubuhnya sudah Hyunjin tutupi dengan selimut hotel, terlalu takut jika ia khilaf.

"Apa kau gila? Aku brengsek, tapi aku tidak melakukannya pada orang yang tidak sadar."

Sedikit banyak, itu membuat Jaemin diam - diam lega.

Memories|NOMIN {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang