PROLOG

10.1K 327 62
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

SMP GENTAWIRA, pukul 23.30.

Seorang lelaki berlari ketakutan di sepanjang koridor yang gelap malam itu. Sesekali laki-laki itu berbalik ke belakang, seakan ingin memastikan bahwa dirinya tidak dikejar oleh yang sedang mengejarnya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya terengah-engah akibat berlari. Ia bahkan sudah tidak bisa berkonsentrasi ketika akan menuruni tangga, sehingga membuatnya terjatuh ketika kakinya memijak pertengahan tangga. Laki-laki itu merintih selama beberapa saat ketika tubuhnya tergeletak di dasar tangga. Baru saja ia akan bangkit untuk berlari lagi, tiba-tiba salah satu kakinya terseret ke arah belakang dan membuatnya terbawa ke sebuah ruangan yang selama ini tidak pernah ingin lagi ia datangi.

"Lepas!!! Lepaskan aku!!! Ampun!!! Jangan sakiti aku!!! Bukan aku yang membuatmu jadi seperti itu!!! Lepaskan aku!!!"

Laki-laki itu berteriak histeris ketika tubuhnya terus saja terseret oleh hal yang tidak bisa dilihatnya. Sampai pada akhirnya laki-laki itu tiba di sebuah ruangan dan pintunya mendadak tertutup sendiri dengan sangat keras. Kaki laki-laki itu tidak lagi terasa ditarik, sehingga membuatnya berusaha merayap di lantai menuju ke arah pintu. Sayangnya, usaha tersebut tidaklah berhasil. Laki-laki itu kembali ditarik oleh hal tak yang tak bisa ia lihat dengan jelas dan kali ini yang ditarik adalah lehernya. Laki-laki itu mulai bergelantungan di udara. Sebuah kabel mendadak menjerat lehernya dan begitu sulit untuk dilepaskan.

Saat laki-laki itu sedang berjuang untuk melepaskan diri, mendadak tatapannya tertuju pada sesosok gadis remaja dengan wajah yang begitu pucat. Tubuhnya yang berbalut seragam SMP tampak berdarah-darah. Laki-laki itu tahu, kalau gadis itu muncul di hadapannya untuk membalas dendam. Tidak ada jalan keluar bagi laki-laki itu sekarang. Hingga akhirnya laki-laki itu benar-benar meregang nyawa dan mati tergantung akibat leher yang terlilit kabel.

Setelah laki-laki itu mati, sosok gadis remaja tadi pun kembali menghilang. Dendamnya baru saja terbalas perlahan dan akan terus berlanjut tanpa bisa dihentikan.

* * *

SMP GENTAWIRA, pukul 06.28

Police line telah ditetapkan. Hari itu semua siswa dan siswi diliburkan secara mendadak, karena baru saja ditemukan jasad seorang Guru yang tewas tergantung pada salah satu ruangan kelas di lantai satu oleh cleaning service yang sedang membersihkan seluruh area sekolah. AKBP Septian langsung menugaskan salah satu bawahannya yang terbaik untuk mengusut kematian tersebut. Zuna yang seharusnya hari itu mendapat jatah libur akhirnya hanya bisa pasrah, ketika menerima perintah dadakan tersebut. Pria itu langsung meluncur ke SMP GENTAWIRA seorang diri. Septian menugaskan dirinya dengan pertimbangan bahwa ia adalah alumni di SMP GENTAWIRA, sehingga jelas akan lebih tahu seluk-beluk di SMP tersebut melebihi orang lain.

"Sudah ... jangan menggerutu terus, Zu. Jalani saja. Lagi pula Pak Septian benar saat menunjukmu untuk menangani kasus dengan alasan bahwa kamu adalah alumni di sana," ujar Diana--partner Zuna yang tidak diberi tugas oleh Septian.

"Kamu juga pernah sekolah di sini bersamaku, Na. Ya, meskipun kamu sekolah di sini tidak sampai lulus karena harus pindah bersama orangtuamu ketika masih kelas dua, tapi kamu juga tahu betul tentang seluk-beluk sekolah ini. Bukan cuma aku," protes Zuna.

Diana pun tertawa di seberang telepon selama beberapa saat usai mendengar protes yang Zuna ajukan.

"Sebenarnya kamu enggan ke SMP GENTAWIRA lagi karena apa, Zu? Karena seharusnya kamu mendapat jatah libur atau karena kamu takut ketemu Mita, mantan pacarmu yang tidak lain adalah salah satu Guru di sana saat ini?" tebak Diana.

Zuna pun berhenti, tepat ketika dirinya baru saja akan memasuki gerbang SMP GENTAWIRA. Selama beberapa saat ia menatap gerbang itu dan kilas-kilas masa lalu mulai berkelebatan di dalam pikirannya.

"Aku enggan ke sini karena kamu tidak ada di sampingku, Na. Kita sudah biasa bekerja bersama selama bertahun-tahun, dan baru kali ini aku ditugaskan sendiri oleh Pak Septian. Kesal aku rasanya!" ungkap Zuna, jujur.

"Memangnya akan ada perbedaan apa jika aku ikut ke sana, Zu? Apakah kalau aku ada di sampingmu, kamu jadi bisa pamer sama Mita kalau dia benar-benar hanya bagian masa lalumu?"

Zuna pun tersenyum saat mendengar pertanyaan barusan.

"Kalau memang kamu mau menegaskan pada Mita bahwa dia hanya masa lalu bagimu, maka seharusnya kamu segera mencari pendamping. Bukan terus-menerus menghadapi kasus di kantor bersamaku. Kapan kamu mau membangun rumah tangga? Kamu enggak bisa cari calon sendiri? Mau aku bantu carikan?" tawar Diana.

"Kamu? Mau mencarikan aku pendamping? Lah kamu sendiri pun masih melajang sampai saat ini, Na. Kamu juga enggak pernah punya pacar lagi setelah dikhianati oleh Kalingga. Eh ... tadi aku lihat kalau Kalingga ada di sekitaran SMP ini. Dia tampaknya buka bengkel sendiri di dekat sini. Kamu enggak mau ke sini diam-diam gitu, Na? Siapa tahu kamu kangen sama Kalingga, jadi kamu mau ke sini sekaligus mendampingi aku mengusut ...."

"Zu ... kerjakan saja perintah dari Pak Septian dengan ikhlas. Jangan mimpi kalau aku akan langsung datang ke sana setelah kamu menyebut nama Kalingga. Dikhianati itu rasanya sakit, Zu, dan aku belum lupa bagaimana rasanya. Oke, sudah dulu. Sampai ketemu di kantor, itu pun kalau kamu bisa ke kantor hari ini. Assalamu'alaikum," pamit Diana.

"Wa'alaikumsalam. Tolong sering-sering telepon aku, Na. Aku bisa kesepian kalau ...."

Tuut-tuut-tuut!

Diana benar-benar menutup teleponnya meski Zuna belum selesai bicara. Hal itu membuat Zuna mendesah lelah dan segera berjalan menuju TKP setelah menyimpan ponselnya ke dalam saku. Beberapa orang Guru yang sudah berada di sekolah tampak begitu kaget dengan peristiwa yang menimpa salah satu rekan mereka. Di antara mereka ada wajah-wajah yang Zuna kenali, karena wajah-wajah itu dulunya adalah teman sekelas Zuna dan Diana saat masih SMP. Ia tidak terlalu menghiraukan soal wajah-wajah yang baru ia lihat setelah bertahun-tahun tak bertemu. Ia terus saja berjalan menuju ruang kelas yang dulu pernah menjadi ruang kelasnya dan Diana, ketika mereka masih kelas dua SMP. Di sana ia melihat jasad seorang laki-laki yang tergantung dalam keadaan kedua mata terbelalak dan mulut terbuka begitu lebar.

"Korban bernama Helmi Rosadi. Usianya tiga puluh tahun. Dia adalah Guru Biologi di sekolah ini dan semalam dia pulang agak larut, karena harus mengurus soal-soal ulangan yang harus dievaluasi. Itu adalah keterangan sementara yang kami dapatkan, Pak Zuna," lapor salah satu Polisi.

Tatapan Zuna belum beralih dari jasad yang tengah ditatapnya saat itu.

"Ya, terima kasih atas laporan awalnya, Pak Tino. Tolong cari tahu, siapa saja di sekolah ini yang tahu bahwa korban akan pulang larut malam," pinta Zuna.

Setelah Polisi tadi pergi, Zuna langsung mengambil foto jasad tersebut menggunakan ponselnya dan mengirimnya pada Diana.

ZUNA
Yang tewas ternyata Helmi, Na. Kamu ingat dia, 'kan? Dia saat ini berstatus sebagai Guru Biologi di SMP GENTAWIRA.

Setelah mengirim pesan itu pada Diana, tatap mata Zuna kini terarah pada sosok gadis remaja yang tengah berdiri di ujung ruang kelas tersebut. Sosok itu tengah menatapnya dan pada saat yang sama Zuna menyadari, bahwa hanya dirinya yang bisa melihat sosok itu.

* * *

Rahasia Di Sekolah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang