25 | Pusat Kemarahannya

1.9K 139 18
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Beni muncul tak lama kemudian di Ruang Guru. Semua mata menatap ke arahnya, karena Rudi saat ini sudah siap untuk marah-marah seperti biasanya.

"Anda dari mana saja, Pak Beni? Kita akan rapat, aku sudah mengumumkan itu sesaat setelah selesai shalat Jum'at tadi. Bu Diana bahkan mencari-cari anda di sekitar sekolah, tapi dia tidak menemukan anda," Rudi benar-benar melampiaskan kemarahannya.

Mendengar bahwa Diana baru saja kembali setelah mencari keberadaannya, membuat Beni langsung melirik ke arah wanita itu. Jantungnya mendadak berdebar, karena takut kalau seandainya Diana tidak sengaja mendengar pembicaraannya di telepon dengan Silmi. Diana balas menatap ke arah Beni setelah menandaskan air minum miliknya.

"Pak Beni dari mana saja, sih? Capek aku keliling mencari-cari Bapak. Mana ponsel Bapak tidak bisa dihubungi. Membuat kami kesusahan untuk memanggil Bapak ke sini," ujar Diana, masih berakting seakan sedang mencoba menetralkan nafasnya.

"Uhm ... itu ... aku tadi ada di bagian samping gedung sekolah, Bu Diana. Kalau boleh tahu, tadi Bu Diana mencariku di mana?" tanya Beni.

"Di bagian dalam sekolah. Aku pikir Pak Beni langsung pergi ke salah satu kelas untuk mengajar karena lupa kalau akan ada rapat. Makanya aku mencari Pak Beni sampai ke lantai dua," jawab Diana, tidak menjawab yang sebenarnya.

Beni langsung bernafas lega, saat tahu kalau Diana tidak mencarinya ke bagian samping gedung sekolah. Kini laki-laki itu tampak kembali rileks dan tidak setegang tadi.

"Maafkan aku, Bu Diana. Maaf kalau aku jadi membuat Bu Diana kerepotan mencariku," ucap Beni.

Rapat segera dimulai pada ruangan khusus. Diana duduk tepat di samping Reza pada kursi paling ujung dekat pintu. Ia mendengarkan semua arahan yang Rudi berikan mengenai kegiatan yang akan dilakukan selama Ujian Tengah Semester dilaksanakan. Diam-diam, Diana membuka ponselnya dan mematikan nada dering, sebelum akhirnya berkirim pesan pada Zuna.

DIANA
Aksesku agar bisa mencari informasi seperti biasanya tidak dikunci oleh Pak Septian 'kan, Zu? Aku butuh mencari satu informasi hari ini.

ZUNA
Tidak. Aksesmu tidak dikunci oleh Pak Septian meski sedang dalam tugas penyamaran. Aku yang mencegahnya melakukan hal itu. Ada apa? Apakah ada hal yang membuatmu ingin mencari-cari tahu?

DIANA
Tidak bisa aku ceritakan melalui chat, Zu. Aku akan cerita. Pasti aku akan cerita padamu saat kita bertemu nanti.

ZUNA
Na? Kamu baik-baik saja, 'kan? Perasaanku mendadak gelisah seperti biasanya, jika kamu mengatakan tidak bisa cerita melalui chat. Apakah sebaiknya kamu meminta izin dan pulang dengan alasan tidak enak badan, agar aku bisa langsung menemuimu di rumah?

Diana tidak lagi membalas pesan yang Zuna kirimkan, meskipun ia sudah membacanya. Pikiran Diana hanya tertuju pada pembicaraan yang tadi didengarnya antara Beni dan Silmi. Luka lama yang enggan ia intip kembali akhirnya--mau tak mau--harus kembali ia buka. Perasaannya begitu berkecamuk dan rasanya ia ingin meluapkan semua amarah itu pada Beni atau Silmi, setelah membuat kehidupannya menjadi kacau berantakan.

Reza membuka ponselnya yang bergetar setelah mengeluarkannya dari dalam saku. Satu pesan dari Zuna menarik perhatiannya dan membuatnya membuka pesan tersebut.

ZUNA
Assalamu'alaikum, Za. Maaf sebelumnya kalau aku akan merepotkan kamu. Aku mau minta tolong, bisakah kamu memeriksa keadaannya Diana? Dia bicara tidak seperti biasanya dan terakhir dia hanya membaca chat dariku dan tidak membalasnya. Aku merasa khawatir padanya, Za. Tolong aku kali ini saja untuk memeriksa keadaannya.

Reza langsung menoleh ke arah Diana, lalu mendapati wanita itu sedang melamun dengan kedua mata yang merah. Entah apa yang sedang wanita itu pikirkan, namun Reza jelas tidak bisa mengabaikan hal itu karena kondisinya memang terlihat mengkhawatirkan. Ia menepuk pelan punggung tangan Diana dari bawah meja, agar tidak ada yang menyadari kalau Diana sedang tidak berkonsentrasi pada rapat. Diana kini menoleh ke arah Reza, sehingga Reza bisa melihat lebih jelas kalau Diana sedang berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya.

"Kamu kenapa?" tanya Reza, berbisik. "Zuna khawatir sama kamu, makanya aku langsung mengecek keadaanmu."

"Aku baik-baik saja, Za. Aku cuma butuh sedikit waktu untuk berdiam diri. Aku sedang ... tidak dalam kondisi bisa berpikiran jernih saat ini. Jadi untuk menjernihkan pikiranku kembali, maka aku harus berdiam diri cukup lama," jawab Diana, ikut berbisik.

Reza pun mengangguk pelan, lalu segera mengabari Zuna soal jawaban yang Diana berikan padanya. Setelah rapat itu berakhir, Diana langsung beranjak menuju meja miliknya dan melihat sosok Sekar yang sedang duduk di kursi samping mejanya. Ia berusaha tersenyum ke arah sosok Sekar, namun sepertinya Sekar tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja karena Beni. Sosok itu kemudian menggerakkan kursi yang akan Beni duduki, sehingga Beni langsung jatuh terduduk ke lantai.

BRUKKK!!!

"ARRGGHHH!!!" teriak Beni, cukup singkat dan lantang.

Semua orang begitu kaget saat melihat Beni terjatuh. Reza dan Darwin kini mencoba membantu Beni untuk bangkit dari lantai. Diana hanya tersenyum sekilas, lalu kembali memasang wajah tak peduli sesaat kemudian.

"Pak Beni baik-baik saja? Kenapa bisa sampai terjatuh, Pak?" tanya Darwin.

"Enggak tahu, Pak Darwin. Sepertinya kursi yang akan aku duduki mendadak mundur sendiri," jawab Beni, sambil menahan rasa sakit yang luar biasa pada tulang ekornya.

"Eh? Mundur sendiri, Pak? Mana bisa begitu? Pak Beni jangan mengada-ada. Mungkin Bapak mendorong kursinya secara tidak sadar karena terlalu fokus membaca buku catatan," sanggah Tina, dengan cepat.

"Iya, Ben. Jangan bicara yang tidak-tidak, kamu. Pakai logika sedikit sebelum bicara," tambah Mita, yang sebenarnya merasa takut kalau kursi Beni benar-benar mundur sendiri.

"Terserah mau percaya atau tidak. Itulah yang terjadi, makanya aku memberi tahu," ketus Beni, seraya mengambil tas kerjanya.

Laki-laki itu hendak keluar dari Ruang Guru karena harus mengajar. Sosok Sekar kembali menjatuhkan sesuatu tepat di depan pintu. Kali ini yang dia jatuhkan adalah ember berisi air bekas pel, yang sukses membuat Beni terpeleset.

GEDEBUG!!!

"ARRRRGGGHHH!!!"

Teriakan Beni kini terdengar jauh lebih panjang, sehingga para siswa yang sudah berada di kelas pun berhamburan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sosok Sekar tersenyum puas ketika berhasil membuat Beni menderita. Diana kini benar-benar tersenyum saat menatap ke arah sosoknya, sehingga Reza sadar bahwa apa yang terjadi pada Beni adalah karena Sekar baru saja melakukan sesuatu. Reza pun mendekat pada Diana, ketika semua orang sibuk membantu Beni bangkit dari lantai agar tidak terus berbaring di sana. Rudi keluar dari ruangannya karena mendengar keributan. Sosok Sekar mendadak memasang wajah penuh amarah seperti yang dilihat oleh Diana waktu itu. Diana langsung menggenggam tangan Reza yang berada di sampingnya, karena memperhatikan perubahan tersebut. Kini ia tahu, bahwa Rudi adalah orang yang menjadi pusat kemarahan Sekar.

"Rudi," bisik Diana. "Sekar sangat marah terhadap Rudi, Za."

* * *

Rahasia Di Sekolah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang