28 | Menerjemahkan

1.8K 139 25
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Astaghfirullah! Ini apa sih, sebenarnya? Kenapa Almarhum Helmi hobi sekali memakai singkatan? Apa dia dulunya terbiasa pakai ponsel Esia Hidayah, ya, sehingga terbiasa juga menulis disingkat-singkat begini?" heran Diana.

Reza dan Zuna--yang mulutnya masih penuh dengan daging dan sayuran--mendadak tersedak akibat mendengar Diana mengungkit soal ponsel Esia Hidayah. Mereka ingin tertawa, namun mulut serta tenggorokan terhalang oleh daging.

"Khetherlhalhuan khamhu, Nha! Shudhah thahu khamhi shedhang ...."

"Telan saja dulu makananmu, Zu! Jorok, tahu!" omel Diana.

Zuna pun langsung menelan seluruh isi mulutnya dalam sekali dorongan. Lalu menatap ke arah Diana.

"Kamu keterlaluan, Na! Sudah tahu kami sedang makan makanan berkuah panas dan penuh daging, kenapa kamu harus membahas soal ponsel Esia Hidayah di depan kami? Kamu mau melihat kami tersedak daging?" Zuna balas mengomel.

"Tapi memang betul 'kan, kata-kataku? Semua singkatan yang ada di dalam satu lembar penuh halaman pertama agenda ini, sama persis seperti singkatan-singkatan yang dipakai oleh para pengguna ponsel Esia Hidayah," ujar Diana.

"Kamu tahu dari mana, soal singkatan yang dipakai oleh para pemakai ponsel Esia Hidayah zaman dulu? Kamu pernah pakai juga, atau ada orang lain yang sering kirim pesan padamu dan isi pesannya penuh singkatan?" tanya Reza.

"Kalingga pernah pakai ponsel Esia Hidayah. Jadi dia pernah kirim pesan padaku yang isinya singkatan semua. Aku sampai harus tanya pada Almarhum Papaku tentang yang dia katakan dalam pesannya, lantaran aku waktu itu tidak benar-benar paham dengan kata-kata yang disingkat," jawab Diana, apa adanya.

Reza dan Zuna mendadak terdiam selama beberapa saat usai mendengar jawaban yang Diana berikan.

"Ekhm! Aku masih boleh tambah hotpotnya, 'kan?" tanya Reza, mencoba kembali mencairkan suasana.

"Ekhm! Iya ... iya ... tambah, Za. Habiskan saja jika kamu memang masih mampu," jawab Zuna, ikut mengalihkan pikiran Diana dari Kalingga.

Tatap mata Diana kini benar-benar hanya terpaku pada satu lembar awal agenda paling pertama yang tengah dipegangnya. Ia sama sekali tidak peduli kalau Reza dan Zuna baru saja berusaha untuk membuat dirinya tidak kembali memikirkan Kalingga. Kedua pria itu takut membuat Diana kembali memiliki mood yang buruk. Namun nyatanya, Diana tampak tidak terganggu sama sekali setelah menyebut nama Kalingga secara sadar.

"X memiliki arti, 'nya'. Sementara kata konjungsi dia tulis dengan simbol," gumam Diana.

Wanita itu segera mengambil buku catatannya beserta ballpoint. Ia akan mulai mengartikan semua singkatan pada lembar pertama buku agenda tersebut. Reza kembali memperhatikan foto-foto hasil autopsi yang tadi diberikan oleh Zuna. Zuna sendiri kini mengambil ponselnya dan mengabari Septian soal jalan penyelidikannya tentang kasus kematian Helmi.

"Oke! Baru tiga kalimat!" seru Diana. "Dengar baik-baik."

Reza berhenti melihat foto-foto hasil autopsi dan Zuna tidak jadi mengirim laporan pada Septian. Mereka kini sangat antusias dan ingin tahu mengenai tiga kalimat yang sudah diterjemahkan oleh Diana.

"Hari ini aku tidak sengaja melihat Rudi Herbowo menarik seseorang ke kelas kami yang lama. Orang yang ditarik oleh Rudi Herbowo adalah salah satu adik kelas kami. Aku berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan oleh Rudi Herbowo, lalu mulai mengintip lewat ujung jendela paling belakang di kelas lama kami."

Diana kini menatap ke arah Zuna dan Reza.

"Baru sampai situ yang aku dapat. Akan kulanjutkan," putusnya.

Diana kembali menekuri buku agenda tersebut, sementara Zuna dan Reza kini saling menatap satu sama lain.

"Yang dia tarik adalah Adik kelasnya? Itu terjadi pada saat dia kelas berapa kira-kira?" tanya Reza.

"Tahun yang tercantum pada buku agenda awal itu, tahun berapa, Na?" tanya Zuna, kepada Diana.

"Astaghfirullah!" seru Diana, sambil terus menulis yang sedang ia terjemahkan. "Enggak! Enggak mungkin!"

"Kenapa, Na? Apanya yang enggak mungkin?" Zuna merasa penasaran.

"Dengar lanjutannya, ya," pinta Diana, dengan perasaan yang bercampur aduk.

"Oke. Akan kami dengarkan," sahut Reza.

"Rudi Herbowo membanting adik kelas kami di bagian belakang kelas lama tersebut. Aku merekam perbuatannya dengan handycam yang kubawa. Dia melecehkan Adik kelas kami di sana, tidak peduli kalau Adik kelas kami itu sudah berteriak-teriak sejak tadi. Hujan di luar sangat deras, sehingga tidak ada yang akan mendengar teriakan Adik kelas kami tersebut."

Wajah Reza perlahan mengeras saat mendengar kata hujan deras, di tengah kalimat yang sedang dibacakan oleh Diana. Kedua tangannya mengepal pelan-pelan, mencoba menahan gejolak emosi yang mulai menjalari dadanya.

"Adik kelas kami terus saja memberikan perlawanan pada Rudi Herbowo. Rudi Herbowo terus saja berusaha ingin merobek pakaian Adik kelas kami tersebut, karena sudah kepalang bernafsu ingin menikmati tubuh Adik kelas kami. Sayangnya, saat Rudi Herbowo akhirnya merasa emosi karena terus saja gagal dan tidak bisa menelanjangi Adik kelas kami tersebut, dia langsung mengeluarkan pisau dari dalam tasnya dan mulai menikam perut Adik kelas kami tersebut berulang-ulang kali hingga tubuhnya sampai ke bawah penuh dengan darah. Adik kelas kami mati. Dia tidak lagi bisa diselamatkan. Rudi Herbowo baru sadar dengan perbuatannya saat Adik kelas kami sudah tergeletak menjadi mayat. Pada saat itulah aku menyimpan handycam milikku, lalu menemuinya dengan santai. Dia kaget saat melihatku, tapi dia tidak punya pilihan lain selain meminta bantuanku untuk menguburkan jasad Adik kelas kami tersebut. Aku pun setuju untuk membantunya, setelah membuat kesepakatan bahwa dia akan membayarku seumur hidup dengan bayaran yang mahal agar aku tutup mulut. Aku kemudian membantunya menggotong mayat Adik kelas kami keluar dari sana. Setelah menemukan tempat yang tidak akan dicurigai oleh siapa pun, kami berdua akhirnya mengubur mayat Adik kelas kami tersebut. Rekaman tentang pembunuhan dan penguburan yang Rudi Herbowo lakukan, sudah aku simpan baik-baik. Kode tempat penyimpananku adalah 19072006. Tepat seperti tanggal kematian Adik kelas kami tersebut, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu enam. Adik kelas kami yang dibunuh oleh Rudi Herbowo bernama AS," Diana berhenti sejenak. "AS itu adalah inisial nama Anindira Sekar, 'kan?" tanyanya, sambil menahan gejolak emosinya.

Reza pikir, hari paling buruk baginya adalah saat dirinya mendengar soal sosok Sekar dari Zuna dan Diana. Tapi dirinya salah. Setelah hari yang menurutnya buruk itu, ada lagi hari yang lebih buruk. Yaitu pada saat dirinya mendengar sebuah pengakuan seorang saksi mata mengenai kematian Adiknya yang dibunuh secara brutal, dan pengakuan itu hanya terdapat di atas lembaran kertas karena saksi mata tersebut juga sudah mati.

"A--aku ... aku pulang dulu," pamit Reza, dengan suara serak dan lirih.

"Za. Tenangkan dirimu. Kami akan mengantarmu pulang," bujuk Zuna.

"Ya, kamu akan ikut dengan Zuna di mobil. Sementara aku akan mengikuti menggunakan motormu, agar motormu bisa dibawa pulang," tambah Diana.

* * *

Rahasia Di Sekolah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang