51 | Mulai Terbuka

1.9K 147 12
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Tahan, Zu. Tahan. Jangan terpancing. Kalau kamu terpancing dan menyusul ke sana, Diana akan segera tahu bahwa kamu telah menyimpan alat penyadap di dalam tasnya," ujar Reza.

Zuna melirik sengit ke arah Reza usai mendapat nasehat dari pria itu. Reza menasehatinya dan terdengar sangat bijak. Padahal aslinya, pria itu kini sedang menahan-nahan tawanya setelah mendengar pembicaraan antara Diana dan Lia yang membahas soal betapa berkaratnya selera humor Zuna. Reza berupaya keras agar tidak perlu ada ledakan tawa yang meluncur dari mulutnya. Karena Reza jelas tahu persis, kalau Zuna akan langsung turun dari mobil dan menghampiri kedua wanita itu, apabila dirinya menertawai fakta yang sedang menjadi pembahasan.

"Kamu paham sekali, 'kan, kalau aku merasa gemas setelah mendengar pembicaraan itu? Aku rasanya ingin  sekali memberikan klarifikasi secara langsung di depan Lia, bahwa selera humorku sama sekali tidak berkarat," ungkap Zuna.

"Iya ... aku paham, kok," sahut Reza, seraya menepuk-nepuk pundak Zuna dengan tegas. "Tapi kalau kamu mendadak muncul, Diana sudah jelas akan merajuk sama kamu selama seminggu ke depan akibat dari adanya alat penyadap dalam tas yang dia miliki. Terus selanjutnya, akan ada kemungkinan kalau Lia menjadi gugup lagi seperti tadi, padahal Diana sudah susah payah membuatnya nyaman serta rileks. Kamu jelas tidak mau membuat keadaan menjadi tidak kondusif kembali, Zu. Jadi tetaplah berpikir jernih, meski kamu sedang dijadikan bahan ghibah."

Zuna merasa semakin gemas usai mendengar ujung nasehat yang Reza utarakan. Namun, Reza ada benarnya mengenai keadaan yang telah kondusif serta Lia yang telah merasa nyaman ketika bicara bersama Diana. Ia tidak akan merusak kedua hal itu, hanya karena merasa perlu memberikan klarifikasi konyol soal selera humornya.

"Oke ... oke ... oke ...! Aku akan pasrah saja kali ini meski menjadi bahan ghibah calon Istriku dan teman barunya," balas Zuna, memberikan kepastian.

Reza pun menatap ke arah Zuna sambil menaikkan salah satu alisnya. Ia merasa sedikit bingung dengan apa yang pria itu katakan, dan dirinya jelas tidak bisa menyembunyikan hal itu sehingga tergambar jelas melalui ekspresinya.

"Teman baru? Kenapa kamu langsung menyebut Lia sebagai teman baru bagi Diana? Bukankah Diana bertemu dengan Lia hanya karena ada keperluan yang bersangkutan dengan kasus hilangnya Sekar?" tanya Reza.

Zuna balas menatap Reza seraya tersenyum.

"Kamu belum mengenal jauh Diana, Za. Kalau kamu sudah mengenal Diana sejauh aku mengenalnya, maka kamu akan langsung tahu ketika Diana merasa tertarik untuk berteman dengan seseorang. Hal yang sama juga aku dapatkan saat dia memperkenalkan kamu. Dia tahu bahwa kamu sangat cocok untuk dijadikan teman olehnya, makanya dia begitu terang-terangan memperkenalkan kamu padaku. Lihat saja nanti saat dia pulang setelah bertemu dengan Lia. Dia pasti akan bercerita dengan sangat antusias soal Lia kepada kita, seakan dia tengah menggiring kita berdua untuk mengenal orang yang sama," jelas Zuna.

Reza pun terdiam. Pikirannya langsung terbayangi oleh wajah Lia yang sudah ia kenali selama belasan tahun, meski mereka tidak pernah kenal dekat seperti Reza mengenal Diana. Hal itu jelas menimbulkan gejolak dalam hatinya. Karena sejujurnya bagi Reza, mengenal dekat Lia akan membuatnya terus mengingat, bahwa Lia adalah orang terakhir yang bertemu Sekar. Hal itu jelas membawa luka tersendiri bagi Reza dan Reza selalu menghindari hal itu selama ini.

"Aku sudah mengenalnya. Diana pun tahu akan hal itu. Lalu, apakah Diana akan mencoba membuatku mengenal Lia lebih jauh, seperti yang Zuna duga?" batin Reza, bertanya-tanya.

Lia meletakkan gelas miliknya, lalu menatap ke arah Diana yang masih mengunyah donat dengan wajah bahagia. Ia mencoba untuk tidak tertawa saat melihat ekspresi yang Diana tampilkan.

"Aku belum pernah punya teman yang selalu berekspresi terbuka seperti kamu. Dulu teman-temanku kebanyakan lebih sering menunjukkan wajah manis dan kalem setiap kali kami berkumpul," ujar Lia.

"Dan pada akhirnya kamu merasa muak karena ada di tengah-tengah perkumpulan manusia berwajah palsu. Iya, 'kan?" duga Diana.

"Mm ... kamu benar. Pada akhirnya aku muak berada di tengah-tengah mereka dan juga pada akhirnya aku dibuang oleh mereka karena merasa bahwa aku pembawa sial. Mereka menyebutku pembawa sial karena aku adalah orang terakhir yang bertemu Sekar dan akhirnya Sekar menghilang setelah itu," ungkap Lia.

Reza dan Zuna--yang masih mendengarkan pembicaraan mereka dari mobil--saling pandang satu sama lain setelah mendengar pengakuan itu. Mereka akhirnya sadar, bahwa tidak akan ada di antara mereka berdua yang bisa menghadapi Lia seperti bagaimana Diana menghadapinya.

"Baguslah kalau akhirnya mereka membuangmu. Kamu tidak rugi sama sekali hanya karena kehilangan orang-orang berpikiran picik seperti mereka. Kamu justru harus bersyukur karena telah dijauhkan dari orang-orang yang toxic. Dengan begitu, kamu jadi bisa memilah dan memilih siapa saja yang orang-orang berpredikat 'teman' yang seharusnya ada di sisimu. Kamu jelas sangat beruntung," nilai Diana.

"Dan kamu tidak berpikir bahwa aku ini memang pembawa sial? Kenapa kamu justru berpikir bahwa aku adalah orang yang beruntung?" heran Lia.

"Li, di dunia ini tidak ada yang namanya manusia pembawa sial. Sial itu bisa terjadi terhadap manusia, karena manusia itu sendiri yang lalai terhadap hidupnya. Semua manusia diciptakan dari tanah oleh Allah, tidak ada yang diciptakan dari emas dua puluh empat karat. Jadi sudah jelas, semua manusia itu kedudukannya sama dimata Allah. Yang membedakan adalah, apakah manusia itu sifatnya baik atau buruk. Hanya itu, tidak ada embel-embel sial dan lainnya. Berpikiran picik seperti itu dan melabeli seseorang dengan julukan 'pembawa sial' jelas bukan sifat dari manusia yang baik. Makanya aku mengatakan bahwa kamu beruntung. Karena setelah apa yang mereka lakukan padamu, kamu akhirnya dijauhkan dari orang-orang yang punya sifat buruk," jelas Diana.

Lia tidak pernah kehilangan senyumnya. Apa pun yang Diana lakukan atau bicarakan sangatlah menarik baginya dan membuat merasa bisa ikut berpikiran terbuka. Perasannya begitu tenang, sebagaimana usaha Diana untuk membuatnya tenang sejak tadi.

"Kamu tahu, Na," Lia terlihat sedang memikirkan sesuatu, "... hari itu sebelum hujan deras turun, aku sempat beberapa kali kaget akibat suara guntur yang terjadi berulang-ulang. Aku terus mengusap dada sambil berdoa agar tidak terjadi hal yang buruk padaku. Dan aku baru ingat, bahwa aku hanya berdoa untuk diriku sendiri tapi tidak berdoa untuk Sekar yang saat itu duduk di sampingku. Justru, Sekar beberapa kali mencoba menenangkan aku dan menyuruhku agar cepat pulang. Dia tidak ingin aku kehujanan. Dia memikirkan aku, Na, tapi aku tidak memikirkannya dan malah meninggalkannya di sekolah sendirian."

Diana menatap Lia begitu dalam. Ia menghela nafasnya perlahan, agar Lia tidak tahu bahwa dirinya tengah merekonstruksi cerita dari wanita itu di dalam pikirannya.

"Kamu pernah menceritakan hal barusan pada Polisi lain, Li?" tanya Diana.

"Tidak pernah, Na," jawab Lia. "Aku tidak pernah mengingat detail itu, karena terus dibayangi rasa bersalah terhadap Sekar. Aku baru bisa mengingatnya setelah berhadapan denganmu. Kamu ... sedikit mengingatkan aku pada Sekar. Kamu dan dia memiliki beberapa kesamaan, sehingga memoriku yang tenggelam kembali dengan mudah."

* * *

SAMPAI JUMPA MINGGU DEPAN 🥰

Rahasia Di Sekolah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang