50 | Membuatnya Nyaman

1.6K 134 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI KAMIS & JUM'AT
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Lia terpaku di tempatnya sambil berusaha mencerna penjelasan yang baru saja dituturkan oleh Diana. Pikirannya seketika tidak bisa bekerja seperti biasa, karena merasa kaget atas apa yang didengarnya soal Diana. Beberapa hari lalu ia berpikir, bahwa Diana adalah seorang wartawan yang ingin meliput berita soal kasus hilangnya Sekar yang sudah lama tidak lagi tidak dibahas oleh siapa pun. Tapi hari ini ia jelas tidak menyangka, bahwa Diana adalah seorang Polisi yang sedang menyamar menjadi Guru di SMP GENTAWIRA.

"Tu ... uhm ... tunggu dulu," pinta Lia. "Beri aku waktu untuk menenangkan diri."

"Ya, silakan," tanggap Diana. "Aku punya banyak waktu, jika memang kamu butuh menenangkan diri sebelum menceritakan semuanya yang pernah kamu lewati. Aku tidak akan terburu-buru dan tidak akan memaksamu. Kamu harus rileks ketika akhirnya akan menceritakan semua yang kamu lewati pada hari itu."

Lia bisa melihat dengan jelas, bahwa apa yang Diana katakan barusan bukanlah sebuah kebohongan. Diana tidak akan memaksa dirinya sama sekali dan justru akan memberinya waktu agar bisa menenangkan diri. Bagi Lia, Diana sama sekali tidak terlihat seperti seorang Polisi. Sejak Sekar dinyatakan hilang, sudah berkali-kali ia berhadapan dengan Polisi dan ia tahu bagaimana rasanya menghadapi mereka. Tapi lain halnya dengan Diana. Saat berhadapan dengan Diana, Lia justru seperti sedang menghadapi seorang teman. Diana sama sekali tidak berusaha mendesaknya agar buru-buru menceritakan yang pernah ia lalui. Diana justru bersikap begitu ceria dan sangat hangat terhadapnya. Hal itulah yang membuat Lia merasa kaget, ketika tahu bahwa Diana sesungguhnya adalah seorang Polisi.

Pesanan Diana datang tak lama kemudian. Pelayan di J-Co mengantarkan satu gelas minuman dan juga satu piring penuh donat dengan berbagai rasa. Diana terlihat begitu senang ketika menatap barisan donat di atas piring itu. Hal itu membuat Lia tersenyum diam-diam dan mengakui, bahwa Diana memang sangat berbeda dari Polisi manapun yang pernah ia temui.

"Wah, aku yakin sekali kalau donat-donat ini tidak akan bisa kuhabiskan sendirian," ujar Diana.

"Kamu bisa meminta sisanya dibungkus untuk dibawa pulang, jika memang tidak bisa menghabiskan donat-donat itu. Kamu juga tidak akan kena biaya tambahan, kok," tanggap Lia.

"Oh ... jangan coba-coba," Diana memberi peringatan sambil memainkan kedua alisnya ketika menatap Lia. "Prinsipnya, apa pun makanan yang kita beli di suatu tempat dan bila sejak awal tidak ada niatan untuk dibungkus agar bisa dibawa pulang, maka kita harus menghabiskannya. Dan karena aku tidak bisa menghabiskan sendirian, maka kamu harus membantu aku menghabiskan donat-donat ini."

"Eh? Aku? 'Kan kamu yang memesan donat-donat itu. Kenapa jadi aku harus ikut menghabiskannya?" kaget Lia.

"Karena kamu adalah teman mengobrolku hari ini, di tempat ini. Jadi apa pun yang aku makan, maka kamu juga harus ikut memakannya. Sekarang berhenti protes dan biarkan aku menebak yang mana donat favorit kamu."

Diana terlihat menyipitkan kedua matanya seraya menatap ke arah donat di meja dan juga ke arah Lia berulang-ulang kali. Lia akhirnya terkikik geli, saat melihat tingkah Diana yang menunjukkan seakan tengah mencoba membaca isi pikirannya. Wanita itu benar-benar menyenangkan bagi Lia. Ia belum pernah bertemu dengan wanita yang mampu membuatnya nyaman, padahal mereka baru saja berkenalan beberapa menit lalu. Seharusnya mereka berdua masih merasa canggung untuk membuka sebuah percakapan. Tapi Diana tampaknya tidak ingin membawa pertemuan itu ke dalam situasi yang canggung. Diana tampak paham, bahwa membuat suasana menjadi canggung hanya akan membuat Lia tidak merasa nyaman.

Semua teman yang Lia miliki--dulu--memilih menjauhinya ketika tahu, bahwa ia adalah orang terakhir yang bertemu Sekar sebelum gadis itu dinyatakan hilang. Mereka semua beranggapan bahwa dirinya adalah pembawa sial, sehingga bisa membuat orang lain menghilang tanpa jejak setelah bertemu dengannya. Sejak saat itu, ia benar-benar memilih sendiri dan tidak lagi mencoba untuk berteman dengan siapa pun. Ia merasa tidak layak untuk memiliki teman, karena takut akan ada yang hilang lagi setelah bertemu dengannya. Tapi kini, saat dirinya bertatap muka dengan Diana, entah kenapa ia mendadak melupakan hal itu. Ia lupa, bahwa tidak seharusnya ia menjalin hubungan pertemanan lagi dengan seseorang. Daya tarik yang Diana miliki jelas membuatnya sangat terpesona, sehingga bisa melupakan semua trauma yang pernah dilaluinya.

"Oke, fix! Aku tahu jawabannya! Kamu akan memilih rasa Forest Glam, Berry Spears, dan Choconutzzy," tebak Diana.

Kedua mata Lia mendadak membola dan senyumnya berubah perlahan menjadi tawa, usai mendengar tebakan Diana yang tidak meleset sama sekali.

"What? Hei ... gimana caranya kamu menebak setepat itu? Aku yakin banget kalau diriku sama sekali enggak pernah bilang pada siapa pun soal rasa donat favoritku. Dan ... lebih enggak mungkin lagi kalau kamu bisa membaca isi pikiranku," ujar Lia, menjadi sangat tertarik untuk mengenal Diana.

"Oh, itu sih perkara mudah," jawab Diana, seraya mengaduk Cafe Avocado yang tadi ia pesan bersama donat. "Aku enggak perlu membaca isi pikiran kamu, hanya untuk tahu apa saja rasa donat yang kamu pilih. Saat aku menatap kamu dan donat-donat itu berulang kali, secara tidak langsung aku sudah mengarahkan kamu untuk menunjukkan padaku soal donat mana saja yang akan kamu pilih. Tatap matamu tadi terarah pada rasa Forest Glam, Berry Spears, dan Choconutzzy. Jadi, aku jelas dengan mudah bisa menebak yang mana saja donat pilihanmu dari semua donat yang ada di piring."

Lia ternganga setelah mendengar jawaban Diana. Ia tertawa lagi dan kali itu tawanya terdengar begitu lepas meski tak terlalu keras. Suasana mendung di wajah Lia juga memudar perlahan, setelah Diana berhasil menggiring perasaan wanita itu ke arah yang dia inginkan.

"Kalau aku boleh jujur, kamu adalah Polisi pertama yang berhasil membuat aku tidak merasakan takut. Menurutku, kamu lebih cocok jadi pelawak daripada jadi Polisi. Kamu ada pikiran untuk berubah haluan dalam soal pekerjaan?" gurau Lia.

"Dulu sih pernah kepikiran mau jadi pelawak. Tapi waktu aku coba praktik di depan sahabatku, dia langsung bilang bahwa humorku sangatlah garing dan membosankan," balas Diana, jujur apa adanya.

"Wah ... kelihatannya selera humor sahabatmu itu sangat berkarat akibat menjalani hidup yang terlalu serius. Bisa-bisanya orang sekocak kamu dibilang garing dan membosankan. Ck-ck-ck!" nilai Lia, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Diana pun tertawa setelah mendengar penilaian Lia tentang Zuna. Ia jelas berharap kalau Zuna tidak akan pernah mendengar penilaian itu, karena sudah jelas akibatnya bahwa Zuna akan mulai merajuk padanya selama satu minggu.

"Tapi aku sayang dia, Li. Meskipun selera humornya berkarat, aku tetap sayang dia," ungkap Diana.

Lia pun kembali tertawa pelan.

"Dia itu sahabatmu atau belahan jiwamu, sih? Kalau dia ternyata adalah belahan jiwamu, aku akan mengeluarkan penilaian lainnya dan penilaian itu adalah untuk kamu."

"Katakan saja, Li. Aku akan mendengarkan. Apa penilaian lainnya yang ada dalam pikiranmu tentang aku?" tanya Diana.

"Cintamu itu buta, Na. Sudah, sesingkat itulah penilaianku untuk perasaan kamu terhadap dia," jawab Lia.

Kedua wanita itu kini tertawa bersama sambil menikmati donat favorit masing-masing.

* * *

Rahasia Di Sekolah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang