Bagian 02

49 9 0
                                    

Di malam hari di sebuah perpustakaan umum, duduk seorang gadis berambut pendek di atas bahu dengan jaket biru muda dan sebuah buku di tangan kirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di malam hari di sebuah perpustakaan umum, duduk seorang gadis berambut pendek di atas bahu dengan jaket biru muda dan sebuah buku di tangan kirinya. Dia hanya melamun. Buku itu sama sekali belum dibacanya, bahkan dibuka saja belum. Di tangan kanannya terdapat alat bantu dengar yang sengaja dilepas.

Hujan di luar begitu lebat. Gadis itu tidak suka. Suaranya mengganggu meski hanya sedikit suara yang terdengar karena di dalam ruangan.

Gadis itu merasa ponsel di sakunya bergetar. Setelah diambil, tertera nama mama di layar ponselnya. Dia harus bagaimana. Malam ini hujan, tubuhnya lemas. Tidak ada pilihan lain, dirinya harus berbohong lagi.

Dipasang lagi alat bantu dengar itu sebelum menempelkan ponselnya pada telinga.

Assalamualaikum. Naya, ke mana, Nak? Udah malem Mama nggak liat Naya di rumah.” Dari suaranya, Naya bisa tahu kalau ibunya baru saja pulang dari tempat kerjanya.

Naya tersenyum getir. “Waalaikumsalam. Maaf Mama, Naya mampir ke perpustakaan umum. Ada buku yang mau Naya pinjem.” Memang benar dia ada di perpustakaan sekarang, tapi tujuannya bukan untuk itu.

Alhamdulillah. Mama kira kamu kemana. Di sini hujan, di sana juga?” tanya ibunya dengan suara yang kentara sekali khawatir.

Naya melirik ke jendela. “Ah, iya hujan. Nggak apa-apa, Ma. Naya di dalam ruangan, kok. Maafin Naya udah buat khawatir Mama.”

Maafin Mama ya, Nak. Mama nggak bisa beliin buku yang kamu mau.

Naya menggigit bibir bawahnya. Dadanya seketika terasa berdenyut nyeri. Naya paling tidak suka ketika ibunya meminta maaf seperti itu, padahal ibunya sama sekali tidak bersalah. Yang harus disalahkan di sini adalah dirinya.

“Kenapa Mama bilang gitu? Naya nggak masalah kalo nggak beli, lagi pula buku yang nanya pinjem nggak terlalu penting. Jadi Mama nggak boleh ngomong gitu.”

Makasih anaknya Mama.”

Naya tersenyum lembut. Anaknya mama katanya. Kata-kata itu membuat hati Naya senang sekaligus sakit. Andai, andai saja itu adalah kebenaran.

Kalo hujannya udah berhenti pulang ya, Nak? Mama jemput aja, ya? Takut lama berhenti hujannya.

Naya tertawa, yang tentu saja tawa palsu yang sering ia tunjukan. “Naya bukan anak kecil lagi, Ma. Naya udah SMA, loh. Udah bisa pulang sendiri. Nggak perlu Mama jemput.”

Hati-hati nanti pulangnya ya, Nak.

“Siappppp!” ucap Naya dengan semangat.

Untuk HaidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang