Pagi-pagi sekali Naya sudah bangun. Gadis itu sudah mencuci baju dan memasak. Baju-baju yang dicucinya pun sudah dijemur. Meski dicuci pakai tangan karena Naya tidak punya mesin cuci, tapi gadis itu boleh jamin baju yang dicucinya bersih. Naya harus membereskan semuanya sebelum dia berangkat sekolah nanti, supaya ibunya tidak perlu membereskan lagi.
Nilam keluar dari dalam kamar dengan wajah pucat. Beberapa hari ini keadaan tubuhnya bisa dibilang tidak sehat. Batuk dan pilek menyerang Nilam. Meski begitu dia harus tetap bekerja walaupun badan lemas dan tak bertenaga.
Melihat Naya yang sibuk di dapur, membuat Nilam tersenyum. Putrinya itu begitu rajin, meski seharusnya anak seperti Naya hanya diperbolehkan main dan belajar. Namun, Naya sudah bisa melakukan apa pun sendiri dan itu membuat Nilam lega.
"Ma, kok di situ? Masuk kamar lagi sana," ucap Naya yang baru saja menyadari kehadiran ibunya.
"Mama habis solat nggak ngantuk lagi," balas Nilam sambil tersenyum. "Makasih ya anak Mama udah masak sama beres-beres yang lain."
Naya menghampiri dan memeluk ibunya. Meski setiap hari bertemu, rasanya Naya selalu merasa rindu dengan ibunya.
"Naya, Mama mau nanya."
"Iya, Mama mau nanya apa?" tanya Naya sambil menatap Ibunya dengan senyuman lebar yang masih terpatri di wajahnya.
"Naya, Bellva satu sekolah sama Naya, ya?" tanya ibunya dengan ragu.
Naya melepas pelukannya. "Mama tau dari mana?" tanyanya dengan wajah cemas.
Selama masuk SMA Naya tidak pernah sekali pun memberitahu ibunya tentang Bellva. Itu semua Naya lakukan karena takut melukai ibunya. Saat pembagian rapot semester satu pun ibunya tidak datang dan digantikan oleh tetangganya karena ibunya harus bekerja. Pada saat itu Naya lega karena ibunya tidak bertemu dengan Bellva.
"Mama pernah liat Bellva pakai seragam sama kayak Naya," jelas Nilam.
Naya menunduk dalam. Perasaan bersalah terus menggerogoti hatinya. "Maaf Mama, bukannya Naya nggak mau kasih tau," ucapnya lirih.
Nilam menggeleng sambil tersenyum dan mengelus kepala Naya. "Nggak apa-apa. Mama cuma mau nanya aja. Di sana Bellva baik-baik aja, kan?"
Naya terdiam sesaat, tapi kemudian langsung tersenyum. "Bellva keliatan baik-baik aja, Ma. Naya liat Bellva makan dengan baik, Bellva juga punya banyak teman Ma."
"Mama cuma kangen Bellva aja. Kamu baik-baik kan sama Bellva?" ucap Nilam khawatir. Dia takut anaknya tak akur sejak kejadian itu.
Naya mengangguk antusias. "Iya, Bellva baik sama Naya kok. Maafin Naya ya, Ma."
"Jangan salahin diri sendiri Naya. Mama nggak pernah bilang ini salah kamu."
Naya terdiam memilih ibunya yang rindu Bellva. Bagaimanapun juga darah tak bisa dibohongi. Ikatan batin antara ibu dan anak pasti masih terjalin. Naya ingin ibunya bisa bertemu Bellva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...