Haidan membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Rasa nyeri dan perih masih terasa pada lebam-lebam di wajah dan tubuhnya. Untung saja Haidan sampai di rumah dengan menggunakan taksi, meski harus meminjam uang ibu Naya. Ketika melihat keadaan rumahnya yang sepi membuat Haidan menghela napas.
"Dari mana saja kamu?"
Suara berat yang sangat Haidan hafal membuat pandangannya beralih ke arah sofa ruang tamu. Di sana ayahnya duduk dengan wajah dingin menatapnya seakan memang sedang menunggunya pulang. Ada sedikit rasa senang di hati Haidan meski ada perasaan takut juga.
Tatapan Ganendra menajam melihat wajah Haidan yang babak belur penuh luka. "Sekarang kamu udah berani kelahi-kelahi? Keren kamu begitu? Mau jadi apa kamu kalau begitu?"
Haidan mematung di tempat mendengar ucapan ayahnya. Rasanya ini lebih sakit daripada luka yang dia dapat akibat preman-preman kurang ajar itu. Meski sudah luka-luka seperti ini pun ayahnya belum juga khawatir kepadanya. Haidan harus seperti apa supaya ayahnya memperhatikannya juga sama seperti abang dan adiknya.
"Ayah," ucap Haidan lirih. Dia ingin sekali mengadu bagaimana kurang ajarnya preman-preman itu memukulinya, hanya karena uang yang dimilikinya. Mengadu kepada ayahnya tentang rasa sakit yang terasa di luka-lukanya. Namun, semua kata-kata itu tercekat dan mengganjal di tenggorokannya. "Maaf." Pada akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulut Haidan tanpa bisa menjelaskan.
Ganendra menghela napas kasar. "Kamu masih kelas sepuluh. Jangan buat malu. Nggak bisa kamu nurut seperti abang kamu? Saya cape lihat tingkah kamu akhir-akhir ini."
Haidan menunduk dengan tangan yang bertaut. Dia memberikan diri untuk menatap ayahnya sebentar saja. Namun, ketika melihat tatapan ayahnya, Haidan tertegun. Di mata ayahnya tidak ada sedikitpun sorot hangat seperti saat menatap abang dan adiknya. Haidan kembali menunduk tanpa menyadari bahwa dalam dirinya mulai memberontak.
"Naik. Belajar, sebentar lagi ujian," perintah Ganendra.
Haidan melangkah perlahan dengan kaki yang sedikit pincang. Dia akan melakukan perintah ayahnya seperti biasanya. Naik ke kamar dan belajar. Meski rasanya tubuh Haidan lelah dan butuh istirahat.
Jidan terlihat menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Wajahnya khawatir melihat Haidan yang ternyata sudah ada di bawah. Baru saja Jidan mendapat pesan dari Naya tentang keadaan abangnya itu. Meski tubuhnya lebih lemah, tapi keadaan Haidan tidak bisa dianggap remeh mengingat bagaimana saat dulu.
"Abang! Abang nggak apa-apa?" tanya Jidan sambil melihat keadaan Haidan yang tidak baik-baik saja. "Kata Naya Abang dirampok."
Ganendra yang duduk di sofa seketika berdiri mendengar ucapan Jidan. Wajahnya terlihat rumit ketika menatap Haidan.
"Nggak apa-apa," jawab Haidan sambil menggeleng.
"Semuanya diambil?" tanyanya panik.
Haidan mengangguk sambil melangkah kembali. "HP, duit sama dompet-dompetnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...