Pukul sembilan malam Haidan masih duduk di depan meja belajarnya. Tentu dengan setumpuk buku yang akan dibacanya nanti. Kini Haidan sedang mengerjakan PR yang tadi diberikan. Pening di kepalanya Haidan tahan sebisa mungkin.
Haidan menoleh ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Di sana terlihat ayahnya dengan wajah dingin seperti biasa. Haidan terdiam karena ayahnya itu jarang sekali masuk ke dalam kamarnya. Meski senang ketika melihat ayahnya, tapi Haidan heran kenapa sampai ayahnya datang.
"Haidan, Jidan mukanya pucet. Kamu kenapa nggak perhatiin dia?" tanya Ganendra yang masih di ambang pintu.
Rupanya selalu alasannya yang sama. Mana mungkin juga ayahnya datang ke kamarnya hanya untuk melihat Haidan menanyakan bagaimana kegiatan tadi sekolah. Ternyata Haidan masih terlalu berharap.
"Haidan udah suruh Jidan minum obat kok, Yah. Kayaknya Jidan kecapean," jawab Haidan tenang.
"Kamu tau Jidan nggak boleh kecapean, tapi malah nggak perhatiin dia. Saya sengaja minta masukin Jidan sekelas sama kamu biar kamu bisa jagain Jidan," ucap Ganendra tegas.
Haidan menunduk. "Maaf, Ayah, Haidan salah."
"Jangan minta maaf terus kalo tetap diulangi Haidan," ucap Ganendra, lalu menutup pintu kamar Haidan.
Haidan menatap pintu kamarnya dengan pandangan sendu. Pening di kepalanya semakin menjadi. Haidan tidak boleh sakit. Jika dia sakit ayahnya pasti kecewa.
Soal yang dikerjakannya belum selesai. Haidan sama sekali tidak paham. Dia merasa bodoh. Gengsi dan harga diri Haidan tinggi untuk bertanya pada Jidan yang faktanya lebih pintar darinya.
Haidan melangkah keluar kamar menuju kamar Jidan. Dia masuk ke dalam kamar Jidan dan melihat adiknya itu yang sedang berbaring di atas kasur dengan wajah pucat. Melihat Haidan masuk, Jidan bangun dari tidurnya.
"Jidan tadi ngapain?" tanya Haidan cepat.
Jidan menggeleng "Nggak ngapa-ngapain, Bang. Kenapa?"
"Kata Ayah muka kamu pucet. Ternyata emang bener pucet gini."
"Nggak pucet banget, kok."
"Jujur, tadi habis ngapain?" tanya Haidan lagi, tapi kali ini dengan wajah yang kurang enak dipandang.
Jidan tak berani menatap Haidan. Seharusnya dia tidak membuat kesalahan. "Beli isian pensil di supermarket," jawabnya dengan suara pelan.
"Jalan kaki?" tanya Haidan memastikan.
"Iya."
Haidan menghela napas kasar. "Jidan kan tau nggak boleh kecapean. Kalo perlu apa-apa bilang Abang, jangan pergi sendirian."
"Iya, nggak gitu lagi," ucap Jidan sambil menunduk.
"Tidur, udah malem besok sekolah."
"Iya, maaf, Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Novela JuvenilBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...