Bagian 28

26 7 0
                                    

Naya sedang membasuh tangannya di wastafel toilet sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naya sedang membasuh tangannya di wastafel toilet sekolah. Namun, Pintu toilet tiba-tiba terbuka. Bellva di ambang pintu yang hendak masuk ke salah satu bilik toilet menghentikan langkahnya. Dia menatap Naya yang masih membasuh tangannya. Naya tahu ada Bellva, tapi memilih untuk tidak peduli. Setelah membasuh tangannya, Naya segera melangkah hendak keluar toilet.

“Mama beneran udah nggak ada, ya?” lirih Bellva.

Langkah Naya terhenti ketika mendengar suara Bellva.

Naya menoleh menatap Bellva. “Kenapa?” tanyanya dengan wajah datar.

Bellva menunduk dengan pikiran yang berkecamuk. “Ini kayak mimpi.”

Naya tersenyum miris. “Baru sekarang kamu panggil Mama?”

Bellva terdiam dengan tangan mengepal kuat. Hatinya tiba-tiba terasa sakit. Rasa sesak itu terus mengganjal di hati Bellva.

“Puas kamu Mama udah nggak ada?”

Plak! Bellva menatap Naya dengan tatapan bergetar. Barusan Bellva menampar pipi Naya sampai wajah gadis itu menoleh ke samping. Tamparan spontan yang cukup kencang sampai membuat sudut bibir Naya terluka.

“Jangan asal ngomong ya lo!” ujar Bellva dengan wajah kesal, meski sebenarnya hati dan ucapannya tidak sejalan.

“Aku udah mohon-mohon biar kamu jenguk Mama. Samperin Mama, ketemu sama Mama barang sebentar aja Bellva. Mama kangen banget sama kamu,” balas Naya dengan suara bergetar menahan tangis.

Bellva terkekeh sinis, lalu menatap Naya penuh benci. “Gara-gara siapa gue jadi gini?”

“Aku. Tadinya aku nggak mau benci sama kamu,” ucapnya kelu walau pada akhirnya tetap tidak pernah bisa membenci Bellva. “Aku percaya kamu nggak bakal benci Mama karena aku.”

“Ini semua karena lo! Salah lo hidup! Lo ambil Papa gue dulu, sekarang lo juga ambil Mama gue! Nggak puas lo, hah?! Lo itu pembawa sial! Kenapa nggak lo aja yang mati?! Hidup lo itu cuma nggak ada gunanya!” sembur Bellva mengeluarkan semua isi hatinya. Bukan Bellva yang salah, tapi Naya. Gadis itu yang membuatnya menderita. Gara-gara Naya, dia kehilangan semuanya.

Naya menatap Bellva tanpa ekspresi. Dalam hatinya ribut ikut menyalahkan diri sendiri. Ternyata kenyataan bahwa Bellva sungguh membencinya membuat hati Naya kembali berdenyut sakit. Sampai akhir pun tidak ada yang berubah. Ini semua salahnya. Atau apakah sebenarnya Naya lahir juga karena kesalahan hingga hidupnya dipenuhi karma.

“Iya, ini emang salah aku. Semuanya salah aku, tapi Bellva apa kamu nggak nyesel nggak ketemu Mama? Bellva adakah kamu rasa bersalah walau sedikit sama Mama?”

“Nggak usah ngajarin gue rasa bersalah! Lo sendiri aja nggak ngerasa bersalah! Dasar pembawa sial!” ucap Bellva sambil mengepalkan kuat tangannya. Bersalah? Konyol sekali, padahal bukan dirinya yang salah.

Untuk HaidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang