Sembilan tahun yang lalu
Naya tersenyum memasuki pekarangan rumah keluarganya yang besar sambil membawa kotak cincin berwarna biru muda di tangannya. Bocah berumur lima tahun itu tampak bahagia di hari ulang tahunnya. Mungkin orangtuanya sedang panik mencarinya yang sejak pagi sudah menghilang. Dengan langkah riang, Naya membuka pintu rumahnya.
“Papa!” teriak Naya memanggil ayahnya yang sedang menelpon dengan wajah panik.
Arya menatap Naya dengan wajah lega. “Aya! Jangan lari-lari. Aya darimana aja?” tanyanya sambil menghampiri Naya.
Sejak tadi Arya panik bukan main karena orang rumah mengabarinya kalau Naya menghilang dan baru ada yang sadar tadi. Arya yang berada di kantor langsung pulang ke rumah dan menghubungi orang di sana sini untuk membantu mencari anaknya. Tidak habis pikir, entah bagaimana caranya Naya bisa kabur dari rumah untuk keberapa kalinya.
Naya tersenyum lebar menampakkan gigi-gigi kecilnya. “Ke taman. Papa ayo ke luar,” ajaknya sambil memeluk Arya.
Arya mengangkat tubuh Naya dan mengendong anaknya itu. “Papa agak sibuk kalo sekarang. Gimana kalo nanti malam aja?”
Naya menggeleng kencang. “Nggak mau! Papa udah janji. Kalo Aya ulang tahun bakal jalan bareng,” ucapnya dengan wajah sedih.
Arya tersenyum dengan wajah yang merasa bersalah. Dirinya memang berjanji untuk jalan-jalan bersama saat Naya ulang tahun, tapi tiba-tiba ada hal yang mendesak.
“Nanti malem sepuasnya, deh,” ujar Arya sambil mengelus rambut pendek Naya.
Naya masih tetap menggeleng kencang dengan wajah cemberut. “Aya mau sekarang. Kemarin Eva ulang tahun Papa langsung turutin. Aya juga mau jalan bareng sama Papa Mama,” ucapnya kesal mengetahui bahwa janjinya ternyata ditunda.
“Kamu jadi anak kecil tidak sabaran, ya,” celetuk Rima yang ada di tangga. Dia baru saja turun dari kamarnya.
“Nenek,” lirih Naya takut.
Wajah neneknya tampak seram di pandangan Naya. Entah kenapa Naya selalu merasa kalau neneknya itu tidak pernah menyukainya, padahal neneknya terlihat sangat menyayangi Bellva, kakaknya. Namun, ketika bersama Naya, Rima selalu bersikap dingin. Naya sampai tidak berani berbicara kepada Rima. Terkadang Naya iri melihat Bellva yang selalu bisa berbicara dengan Rima atau bahkan meminta ini itu dan digendong neneknya.
“Ma, Aya masih kecil,” tegur Arya dengan suara lembut. Dia paham ibunya itu tidak pernah menyukai Naya, tapi setidaknya jangan terlalu ditunjukkan. Bagaimanapun juga Naya hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
“Kamu yang terlalu manjain dia,” ucap Rima tidak terima dengan teguran anaknya.
Arya hanya diam dan tidak berbicara lagi, tidak ingin membuat keributan dengan Rima. Bagaimanapun juga Rima adalah ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...