Bagian 07

39 10 0
                                    

Jidan terbaring lemah di atas kasurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jidan terbaring lemah di atas kasurnya. Napasnya sudah beraturan dan dadanya tidak sakit lagi. Jidan benci dengan fakta bahwa dirinya lemah. Melindungi abangnya saja Jidan tidak bisa. Sekali lagi Jidan benci dengan fakta itu.

"Apa yang masih sakit?" tanya Ganendra yang duduk di samping ranjang Jidan. Pria itu panik bukan main saat Jidan kesakitan tadi.

Jidan hanya menggeleng pelan sambil melihat langit-langit kamarnya.

"Kalau ada yang sakit lagi harus bilang, ya?" ucap Ganendra sambil menatap Jidan dengan tatapan lembut.

Jidan menatap wajah ayahnya. Tatapan ayahnya itu berbeda sekali ketika menatap abangnya. Jidan tidak mau berburuk sangka, tapi ketika dirinya mulai bertambah usia, dia jadi mulai menduga-duga. Apakah karena dirinya sakit? Ayahnya begitu memperhatikannya tanpa melihat anaknya yang lain.

Sekali lagi Jidan benci fakta bahwa dirinya lemah.

"Abang nggak ngerokok. Nggak pernah Abang langgar yang Ayah larang. Jidan nggak tau pasti rokok itu bisa ada di tas Abang, tapi Jidan jamin Abang nggak pernah sekalipun ngerokok," jelas Jidan menatap ayahnya yang terdiam. "Kenapa Ayah tampar Abang?"

Ganendra berdiri. "Ayah keluar dulu. Kalo perlu apa-apa bilang, ya?"

Jidan berdecak kesal. Selalu seperti itu. Ayahnya tidak pernah menjawab. Jidan muak.

“Aku mau cari Abang,” ucap Jidan sambil mencoba bangkit.

Ganendra menahan Jidan. “Nggak usah. Istirahat aja.”

“Terus biarin Abang di luar sendirian?!” Jidan menatap ayahnya dengan kesal.

“Istirahat,” ucap Ganendra penuh penekanan.

Jidan membuang muka, menahan amarahnya.

Ganendra melangkah keluar kamar Jidan sekalian menghubungi sekretarisnya. Mengetahui anaknya seperti itu, dia tidak akan kembali ke kantor.

Ponsel Jidan bergetar. Di layarnya tertera nama Raden. Jidan berdecak kesal sambil mengambil ponselnya itu.

“Jidan, Haidan gimana?” tanya Raden di seberang sana.

“Pergi.”

Kemana?

“Nggak tau.”

“Jadi gimana?” Raden di seberang sana terdengar khawatir.

“Udah telpon, tapi nggak diangkat. Bantuin cari,” pinta Jidan.

“Oke, gue bantu cari. Lo sekarang coba telpon sama chat Haidan aja, ya? Entar gue cari Haidan bareng Caka.”

“Iya. Itu rokok Marvin, kan?” Jidan sudah menduga rokok di dalam tas abangnya itu milik Marvin.

“Kok lo tau?”

“Nggak usah nanya balik. Di antara kalian yang ngerokok kan cuma dia. Kenapa itu rokok ada di tas Bang Haidan?” tanya Jidan dengan kesal. Gara-gara itu abangnya bahkan sampai ditampar ayahnya, padahal selama ini meski ayahnya itu dingin tidak pernah sekalipun main tangan dengan anaknya. Jujur saja Jidan takut.

Untuk HaidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang