Bagian 37

29 6 0
                                    

Haidan bergabung ke meja makan dengan seragam yang sudah lengkap dipakainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haidan bergabung ke meja makan dengan seragam yang sudah lengkap dipakainya. Yang pasti rapi dan wangi. Hari ini Haidan merasa lebih baik, meski masih sulit untuk tidur. Haidan masih mengingat jelas interaksi dirinya saat di rooftop dengan Naya. Mengingat gadis itu, entah kenapa Haidan merasa sudut bibirnya tertarik dan ingin tersenyum. Entah kenapa wajah gadis itu melekat di ingatannya.

“Hari ini kamu nggak usah sekolah,” ucap Ganendra tanpa melihat Haidan.

Haidan yang mendengar itu mengurungkan niatnya untuk duduk di samping Jevin karena terkejut. Dia mematung di samping kursi dengan wajah bingung. Tidak mungkin hanya karena tingkah membangkangnya semalam—yang berani pulang terlambat sendiri dan hujan-hujanan—ayahnya jadi menyuruhnya berhenti sekolah. Apakah ayahnya sudah muak dengan Haidan yang tidak pandai belajar?

“Maksud Ayah?” tanya Haidan ragu-ragu, barangkali dia salah dengar.

“Mulai besok kamu homeschooling.” Ganendra masih tidak menatap Haidan. Dia berkata sambil memberikan segelas susu yang sudah disiapkan Bi Ida untuk Jidan.

Haidan semakin bingung dengan ucapan ayahnya. “Tiba-tiba aja?” ucapnya sambil menatap abangnya untuk meminta penjelasan karena dia tahu ayahnya pasti tidak akan menjelaskan. “Bang Jevin maksud Ayah apa?”

Jevin menghela napas berat, terlihat letih dari wajahnya. “Itu demi kebaikan kamu.”

“Ayah, Haidan salah apa lagi sampai homeschooling?” tanya Haidan masih tidak percaya dengan ucapan ayahnya. Ada sedikit sirat luka di matanya. “Karena pulang terlambat semalem dan hujan-hujanan?” Untuk alasan ini Haidan tidak yakin karena ayahnya mana mungkin peduli dengannya. Yang dipedulikan ayahnya hanya nilai akademiknya.

Ganendra diam, tapi kini menatap Haidan. Gerakan makan Jidan juga jadi berhenti karena memperhatikan ayahnya itu. Jevin masih tenang dalam makannya meski dilirik tajam oleh Jidan.

Haidan menatap ayahnya dengan tangan terkepal. “Haidan masih mampu sekolah seperti biasa. Haidan bakal tetap berusaha, Ayah. Meski Haidan tahu nggak bakal bisa menang dari Jidan, tapi apa sampai harus homeschooling?”

Jidan menunduk dengan tangan menyatu. Perkataan abangnya membuatnya terdiam dengan pandangan kosong.

Ganendra menggeram. “Untuk apa sekolah di luar kalau kamu saja tidak pernah menurut perintah saya!”

Haidan mengernyit tidak terima. Hatinya sakit mendengar ucapan ayahnya. “Tapi Ayah, kan nggak harus sampai homeschooling. Mending Ayah tambahin jam les Haidan aja,” ucapnya lembut, berharap ayahnya mau mendengarkan usulnya itu.

Haidan tidak bisa membayangkan kehidupan sekolahnya yang berakhir jika harus homeschooling. Sekolah di luar saja sudah membuatnya tertekan, apalagi harus sekolah di rumah yang pasti diawasi setiap saat. Haidan hanya ingin bebas sekali saja, tapi ternyata sikap berontaknya itu malah membuatnya semakin terbelenggu.

Untuk HaidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang