Haidan pulang dengan tubuh lemas. Jidan tadi sudah pulang lebih dulu dijemput oleh Pak Jos, supir yang bekerja di rumahnya. Sementara Haidan lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk berangkat dan pulang sekolah.
Ketika membuka pintu, Haidan melihat ayahnya yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Haidan sudah menduga, pasti ayahnya sudah tahu tentang nilainya. Mata dan telinga ayahnya itu ada di mana-mana. Ayahnya pasti tahu dari guru atau mungkin bertanya langsung dengan kepala sekolah. Haidan hanya berdiri menunggu ayahnya berbicara.
“Nggak ada yang mau dibicarakan?” Ganendra membuka suara.
Haidan menunduk dalam. “Maaf, Ayah.”
“Nilai kali ini pun kamu masih kalah sama Jidan?” ucap Ganendra tidak habis pikir.
Haidan menggigit bibir bawahnya. “Maaf, Ayah, tapi nilai Haidan meningkat. Selanjutnya—”
“Meningkat? Nilai kamu hanya naik dua angka,” ucap Ganendra memotong ucapan Haidan.
Haidan tidak bisa membantah. Dibanding nilai Jidan yang banyak meningkat, nilainya sama sekali tidak seberapa. Meski nilainya berhasil bertahan pada urutan ke lima, tapi tidak ada untungnya jika masih kalah dengan Jidan.
“Apa yang selama ini kamu pelajari di sekolah?” tanya Ganendra menatap tajam Haidan yang masih menunduk.
“Haidan bakal berusaha lagi.”
Ganendra berdiri. “Berusaha? Itu namanya bukan berusaha!”
Ada sesuatu yang seperti menghantam dada Haidan. Usaha dalam belajarnya tidak diakui. Dia kecewa pada dirinya sendiri. Seandainya saja dia belajar sampai dini hari setiap harinya, apakah ada yang berubah pada nilainya?
“Jangan main, sampai nilai kamu bisa di atas Jidan.”
Setelah itu, Ganendra melangkah pergi.
Haidan mengeratkan giginya. Tangannya gatal ingin memukul dinding. Dia tidak suka dibandingkan, tapi itu memang kenyataannya. Nilai Jidan selalu lebih tinggi darinya, padahal dia itu yang lebih tua. Haidan marah pada dirinya sendiri
***
Naya berjalan menyusuri lorong sekolahnya dengan perasaan senang. Membayangkan saat pulang sekolah nanti, dia akan pergi membeli mesin jahit untuk ibunya dengan uang yang ditabungnya dari hasil memenangi olimpiade tahun lalu. Mesin jahit ibunya sudah lama dan sering macet. Naya ingin membelikan mesin jahit yang baru yang lebih modern dan praktis, sehingga ibunya tidak perlu kesusahan lagi saat ada pesanan menjahit baju.
Sesampainya di kelas, Naya bingung dengan keadaan kelas yang banyak sampah makanan dan minuman di setiap meja. Naya kembali tidak peduli dan melangkah menuju kursinya.
Saat membuka tas, Naya terkejut tidak menemukan uang tunai yang dibawanya. Uang sebesar dua juta diambilnya dari bank yang ada di sekolah untuk membeli mesin jahit ibunya tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...