Jam istirahat Naya masih sibuk mencatat di bukunya. Tidak ada banyak waktu baginya karena tidak lama lagi akan ada ulangan semester dua. Jadi, Naya harus benar-benar belajar. Jika tidak, beasiswanya bisa saja terancam dicabut.
Byur! Segelas kopi tumpah di atas buku catatan Naya. Naya terdiam karena terkejut menatap bukunya yang sudah basah itu. Padahal buku catatan itu dicatat sampai larut malam. Naya mengepalkan tangan sambil mendongak untuk melihat siapa yang menumpahkan kopi itu.
Amel menutup mulutnya berpura-pura terkejut. "Ups, sorry! Aduh, gue nggak sengaja, nih," ucapnya tanpa rasa bersalah sedikitpun sambil tersenyum.
"Ng-nggak apa-apa," ucap Naya sambil menggeleng lemah. Lalu berdiri hendak membersihkan buku dan bekas tumpahan kopi Amel.
Bruk! Dengan sengaja Bellva menyenggol bahu Naya cukup kencang sampai Naya jatuh terduduk. Bagian wajah Naya tanpa sengaja terantuk meja.
"Bellva?" Naya mendongak sambil memegang hidungnya yang terasa nyeri.
"Lo pantes tau nggak," ketus Bellva sambil berlalu.
Naya berdiri merasakan ada sesuatu yang mengalir dari hidungnya. Seketika saja kepalanya terasa pusing. Ketika Naya lihat di telapak tangannya sudah ada bercak darah. Dia mimisan.
Orang-orang di sekeliling Naya hanya terdiam menatap sekilas, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Naya lantas mengangkat kepalanya sembari tersenyum tipis, hal itu sontak membuat Haidan yang melihatnya diam-diam terpaku seketika. Mata dan ekspresi itu benar-benar mengganggu. Haidan merasa terusik.
Sekotak tisu diletakan di meja Naya. Gadis itu mendongak melihat siapa yang memberikan tisu kepadanya. Jidan, pemuda dengan tinggi badan menjulang itu berdiri di sampingnya tanpa ekspresi.
"Makasih, Jidan."
Naya buru-buru mengambil tisu itu dan menyeka hidungnya yang penuh darah. Mungkin ini bukan karena benturan tadi, tapi karena dirinya terlalu lelah belajar. Naya harus berpikir positif karena Bellva tidak mungkin sengaja seperti itu.
"Masih keluar darahnya?" ucap Jidan sambil berjongkok di samping Naya. Pemuda itu menatap wajah Naya tanpa ekspresi. Dia ingin memastikan sesuatu.
"Udah nggak," balas Naya sambil melirik ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Jidan membuat Naya heran dan risih.
"Mimisan kenapa?" tanya Jidan dengan posisi yang masih sama.
"Ga sengaja kepentok meja."
"Ceroboh. Udah gede juga."
Naya terperangah dengan ucapan Jidan. Pemuda itu memang sebenarnya menyebalkan. Hanya karena tampangnya dingin saja, makanya tertutupi.
Naya tersenyum kaku. "Jidan ga ikhlas ngasih tisunya, ya?"
"Sok tau."
Naya meneguk ludahnya gugup. Pemuda di sampingnya itu kenapa menatapnya tepat di mata, sih? Naya kan jadi takut dan was-was. Mana wajahnya itu tanpa ekspresi, membuat Naya bingung harus merespon bagaimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...