Bagian 13

30 8 0
                                    

Waktu istirahat Naya habiskan duduk di bawah pohon sambil melihat Haidan yang sedang asyik bermain di lapangan bersama teman-temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu istirahat Naya habiskan duduk di bawah pohon sambil melihat Haidan yang sedang asyik bermain di lapangan bersama teman-temannya. Melihat pemuda itu tersenyum membuat Naya juga ikut tersenyum.

"Lo suka Bang Haidan, kan?"

Pertanyaan tiba-tiba dari sebuah suara membuat Naya terkejut. Gadis itu menoleh dan mendapati Jidan berdiri tepat di belakangnya. Wajah pemuda itu tetap sama, judes dan songong.

"Jidan, ngagetin aja," ucap Naya dengan wajah kesal.

Jidan diam tidak peduli dan dengan santainya duduk di samping Naya. Wajah pemuda itu sama sekali tidak merasa bersalah telah membuat Naya terkejut.

"Jidan ngapain di sini. Nggak mau main sama mereka?" tanya Naya sambil mengernyit bingung dan juga penasaran.

"Jantung gue nggak kuat lari."

Naya langsung menoleh cepat menatap wajah Jidan. "Maksudnya Jidan?"

"Jantung gue lemah dari kecil," ucap Jidan balas menatap Naya.

Naya mengedip bingung, lalu terdiam sebentar. "Kenapa Jidan kasih tau, yang lain nggak tau, kan?"

Jidan menggeleng. "Gue nggak suka dikasihani."

Naya tersenyum. Ternyata dibalik wajah judes Jidan ada luka yang disembunyikan. Memang seharusnya tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

"Jidan kuat, ya," ucap Naya sambil menepuk pelan pundak Jidan.

Mata Jidan menatap bagaimana Haidan tertawa bersama teman-temannya. Abangnya itu pandai sekali menyembunyikan segalanya termasuk perasaannya.

"Nggak sedih liat Bellva sama Bang Haidan?"

Naya terdiam. "Mereka cocok, kok." Namun, di dalam hatinya yang paling dalam, sebenarnya Naya merasa cemburu melihat kedekatan Haidan dengan Bellva.

"Ngalah terus."

"Karena Bellva penting."

"Emang lo deket sama dia?" tanya Jidan penasaran.

Naya mengangguk lemah. "Deket, tapi dulu sebelum semuanya hancur. Dulu kami layaknya anak kembar yang nggak bisa dipisahin. Kemana-mana bareng terus."

Jidan mengernyit heran. "Kalian keluarga?"

Naya menggeleng sambil tertawa. "Bukan. Aku bukan siapa-siapa di keluarga Bellva. Cuma pembawa sial."

"Lo kenapa ngomong gitu?" tanya Jidan dengan nada marah.

"Kenyataan, Jidan." Naya tersenyum menatap Jidan. "Impas, kan? Kamu kasih tau rahasia kamu, aku kasih tau rahasia aku. Janji deh nggak kasih tau siapa-siapa," ucapnya sambil menunjukkan jari kelingkingnya.

"Kayak bocah." Jidan terkekeh, tapi janji kelingking tetap dia dilakukan.

"Ini alasannya nggak bisa benci Bellva." Kini Jidan sedikit mengerti kenapa Naya tidak pernah bisa membenci Bellva yang selalu bersikap kasar dan benci kepada gadis itu.

Untuk HaidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang