Haidan menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sudut bibirnya yang terluka tampak sedikit biru keunguan. Tenaga ayahnya ternyata bukan main-main. Kantong matanya mulai tampak jelas. Haidan baru tidur ketika pukul setengah dua dini hari sehabis salat tahajud.
Kini Haidan sudah rapi dengan seragam sekolahnya dan juga hansaplast di sudut bibirnya. Diraihnya tas hitam yang sudah tersusun rapi dengan banyak buku di dalamnya.
Haidan melangkah keluar rumah. Langit masih belum terang sepenuhnya. Jam pun masih menunjukan pukul enam pagi kurang sepuluh menit, tapi Haidan ingin berangkat lebih pagi agar bisa menghirup udara segar.
Jidan yang baru selesai memakai seragamnya segera ke kamar Haidan, siapa tahu abangnya itu sudah siap. Namun, ketika Jidan mengetuk pintu kamar Haidan, tidak ada jawaban. Jidan pun membuka kamar abangnya itu, tapi yang dilihatnya hanya kamar yang sudah rapi tanpa sosok Haidan.
"Kemana?" tanyanya bingung. "Udah pergi sekolah?"
Sesampainya di kelas, Haidan pikir dirinya yang paling pertama sampai, tapi ternyata sudah ada seseorang di dalam kelasnya. Naya, gadis itu tertidur dengan kepala di atas buku di meja. Haidan melangkah pelan menuju mejanya. Duduk dengan perlahan dan mulai mengambil buku dari dalam tasnya. Haidan melirik Naya yang setengah wajahnya tertutup rambut pendek gadis itu. Tenang seperti suasana kelas saat ini.
Haidan terus belajar sampai satu persatu teman sekelasnya datang dan hampir memenuhi kelasnya.
Di ambang pintu Jidan baru saja sampai di sekolah. Ternyata dugaannya benar saat melihat Haidan yang sudah ada di mejanya. Jidan langsung menghampiri Haidan.
"Bang, kenapa berangkat duluan?"
Haidan tetap fokus menatap buku. "Ada PR yang belum selesai."
"Jidan bisa bantu," ucap Jidan dengan percaya diri tanpa tahu bahwa ucapannya itu membuat sisi lain Haidan bangkit.
Haidan menatap Jidan sebentar, lalu menatap bukunya lagi. "Lupa kalo punya adik yang lebih pinter dari abangnya."
"Bukan gitu maksud Jidan," ucap Jidan dengan gelagapan.
"Udah sana duduk. Jangan kecapean."
"Bang Jevin nanyain Abang," ucap Jidan pelan.
"Bilang aja sibuk."
"Nggak sarapan?"
"Nanti bisa di sini."
"Oke," ucap Jidan mengalah.
Jidan melangkah menuju mejanya. Sebelum duduk Jidan menatap Naya yang wajahnya kentara sekali habis bangun tidur. Wajah kantuk gadis itu membuat sudut bibir Jidan berkedut menahan senyum.
***
Haidan sedang duduk berdua dengan Marvin di taman belakang sekolah. Sejak lima menit yang lalu, Marvin masih saja terdiam enggan mengeluarkan sepatah kata. Namun, Haidan masih senantiasa menunggu Marvin untuk menjelaskan kejadian kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...