Bagian 12

28 7 0
                                    

Suara-suara di sekitar membuat Haidan kehilangan fokus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara-suara di sekitar membuat Haidan kehilangan fokus. Dia tidak tahu harus berbuat apa, selain hanya diam. Pandangannya menyapu ruangan luas dengan lampu besar yang tergantung di atas langit-langit. Banyak pria dengan pakaian rapi, sama sepertinya yang memakai jas. Tak lupa juga para wanita yang memakai gaun dengan elegan. Mereka saling mengobrol untuk menambah koneksi. Suara-suara itu membuat Haidan tak nyaman.

Haidan sungguh tidak suka dengan acara seperti ini. Rasanya menyesakkan baginya yang diam tidak tahu apa-apa. Haidan selalu dibawa dalam acara seperti ini. Dia tidak menolak meski tahu pada akhirnya tidak ada hal yang dapat dilakukannya.

Ganendra sibuk berbicara dengan kolega maupun teman kerjanya. Di sampingnya ada Jevin dan Jidan. Haidan yang di belakang hanya mengikuti kemana pun ayahnya pergi. Jika disuruh diam di pojokan Haidan menurut saja. Jika disuruh menyapa yang lain pun Haidan menurut. Namun, kebanyakan Haidan hanya bisa diam, menunggu Ganendra selesai mengobrol dan lanjut bertemu dengan yang lain.

"Ini anak saya Jevin," ucap Ganendra sambil menepuk bahu Jevin. Dia mengenalkan anaknya dengan pria paruh baya di depannya.

Jevin tersenyum, lantas berjabat tangan dengan pria paruh baya itu. Pemuda itu tampak tampan dengan tubuh yang dibalut jas. Penampilannya kali ini benar-benar menawan. Beberapa kali gadis dan wanita yang ada di acara itu memandang dengan kagum.

"Oh, yang ini yang sudah jadi dokter? Hebat ya anak Pak Ganendra, padahal masih muda."

Jevin hanya tersenyum sebagai balasan.

"Ini yang jadi anak akselerasi, ya?" ucap pria paruh baya itu dengan semangat. Jarang sekali dia menemukan bibit unggul seperti ini.

Jidan yang tadinya menatap sekitarnya dengan malas, lantas mengangguk sebagai balasan.

Haidan yang ada di belakang Ganendra hanya diam menatap ayahnya itu yang masih lanjut mengobrol tentang bisnis. Kehadirannya seolah tampak tidak ada. Haidan hanya bisa diam lagi dan lagi. Tangannya terkepal kuat menahan rasa sesak di dadanya. Tidak ada yang dapat dijadikan bahan untuk dibanggakan ayahnya dari Haidan. Haidan sadar bahwa dirinya jauh sekali perbedaannya dengan abang dan adiknya yang berprestasi. Tekanan yang lagi dan lagi selalu ada di mana-mana.

Haidan juga ingin dibanggakan Ayah.

Tidak tahan lagi, Haidan melangkah menuju balkon. Di sana dia menghirup udara malam sebanyak-banyaknya, berharap dapat menghilangkan rasa sesak di dadanya. Namun, rasa sesak itu tak kunjung menghilang. Matanya terpejam mencoba menikmati angin malam.

"Lo di sini juga," ucap seorang gadis yang ada di belakang Haidan. Gadis itu melangkah ke samping Haidan.

Haidan menoleh, melihat siapa yang sedang berbicara dengan dirinya. Ternyata Bellva yang ada di sampingnya. Gadis itu memakai dress biru selutut dengan rambut yang digerai lurus.

"Bosen, ya?" ucap Bellva sambil tersenyum.

Haidan terdiam sebelum menggeleng kecil. Bingung melihat Bellva yang sekarang ada di sampingnya. Memang terkadang Haidan melihat Bellva di acara seperti ini, tapi hanya sekedar melihat tanpa menyapa dan bertemu seperti ini.

Untuk HaidanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang