Tempat Haidan melarikan diri hanya di taman. Masih dengan seragam sekolahnya, Haidan hanya duduk diam sambil menatap telapak tangannya yang terluka akibat goresan gunting tadi. Kali ini Haidan benar-benar mendapat luka. Sakit dan perih rasanya. Sesak yang terasa di dadanya sungguh tidak nyaman. Ingin rasanya Haidan melampiaskan amarahnya. Haidan tidak bisa menangis, dia hanya terlalu lelah untuk melakukan itu.
Haidan bangkit sambil menatap langit yang mendung. Matahari sebentar lagi akan terbenam. Dia harus segera pulang meski muak rasanya ada di dalam rumah.
Ketika Haidan berbalik, dia melihat seseorang yang mengusik hatinya. Naya. Gadis itu berdiri dengan keadaan yang berantakan. Haidan terdiam melihat betapa kosongnya tatapan Naya. Gadis itu berbalik lantas melangkah pelan masih dengan tatapan kosongnya. Haidan yang ada di depannya sama sekali tidak dihiraukannya. Haidan mengernyit, raut wajah Naya benar-benar terlihat tidak baik-baik saja. Ini sungguh mengusik hatinya.
Ketika melihat Naya yang akan melewatinya begitu saja, Haidan memegang lengan gadis itu. "Lo kenapa?" Pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
Naya menatap Haidan. "Haidan?" Namun, seketika raut wajahnya berubah sendu.
Haidan terdiam. Dadanya yang terasa sesak menjadi aneh ketika melihat mata Naya yang berkaca-kaca.
"Haidan, tau nggak apa yang paling menyakitkan di dunia ini?"
Haidan mengernyit bingung. "Hah?"
"Perpisahan. Perpisahan karena kematian. Nggak peduli serindu apa, dia nggak bakal bisa ketemu lagi sama orang yang dia rindu." Setelah berbicara seperti itu, Naya melepaskan genggaman tangan Haidan pada lengannya. Kemudian melangkah pergi.
Haidan yang terdiam hanya menatap punggung Naya. Bukannya tidak mengerti, Haidan tahu jelas apa yang dimaksud dalam ucapan Naya. Namun, Haidan tidak tahu harus bersikap bagaimana dan masih tidak tahu alasan Naya berbicara seperti itu. Mungkinkah Naya butuh waktu? Tapi Haidan tak suka melihat Naya seperti itu.
***
Naya duduk di pojokan dengan mukena biru muda yang masih dipakainya. Mukena itu ibunya yang membelikan dari tiga tahun yang lalu. Mukena yang dulu hanya dipakai salat eid saat lebaran, kini Naya pakai sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Setiap sudut rumah mengingatkan tentang ibunya. Setiap Naya memandang ke segala arah, sosok ibunya yang selalu terlintas. Naya selalu teringat ibunya dan air matanya kembali turun. Naya takut. Takut air matanya malah membuat ibunya menderita di sana. Namun, Naya tidak kuat dengan rasa sesak dan rindu di dadanya.
Naya tidak tahu kapan terakhir dia makan atau kapan terakhir kali dia bisa tidur. Segala hal yang dilakukannya seakan tidak berarti. Tujuannya hilang bersamaan dengan arahnya. Naya tidak tahu harus apa lagi selain hanya menangis. Kantong matanya terlihat jelas bahwa Naya kesulitan tidur. Bagaimana tidak jika baru saja kemarin Naya masih tidur memeluk ibunya, sekarang dia hanya sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haidan
Teen FictionBagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi pengusik di hatinya. Yang selalu ingin Haidan dihindari, tapi rupanya tidak bisa. Karena ternyata us...