𝕠𝕟𝕖 𝕥𝕠 𝕠𝕟𝕖 𝕨𝕒𝕪
Aku ingat tentang malam dimana para polisi dan detektif itu mengejarku hingga kedasar hutan, aku terus berlari, aku egois karena aku terlalu takut untuk menanggung dosa yang telah aku perbuat, aku takut hukuman seperti apa yang akan aku terima. ranting-ranting kayu yang tajam menusuk kaki dan lenganku, udara dingin dimalam itu menambah sensasi perih, aku berlari tanpa sadar menggigit bibirku sendiri hingga berdarah. paru-paruku terasa sempit, aku menengadahkan kepalaku keatas, menatap bulan yang bersinar terang diatas sana.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?"
Aku bertanya kepada tuhan dengan suara getir.
"Kau terus menghukumku dengan rasa bersalah."
Aku menutup mataku cepat dan kembali menghadap kedepan, namun tiba-tiba suara bunyi tembakan yang berasal dari pistol mengagetkanku, burung-burung beterbangan dan bersuara keras.
Bunyi tembakan pistol tersebut mengacaukan pikiranku, kakiku tergelincir terjebak oleh akar besar sebuah pohon dan berguling jatuh ke dalam jurang yang gelap.
.
.
.
𝕠𝕟𝕖 𝕥𝕠 𝕠𝕟𝕖 𝕨𝕒𝕪
.
.
.
Hueningkai menatapku memohon.Aku mengernyit dan membantah, "tapi aku memang tidak tau apapun. kau bisa bertanya lebih lanjut kepada bosku."
Hueningkai kemudian menarik kedua lengan kemejaku, masih dengan ekspresi memohonnya yang hampir terlihat putus asa. aku berjuang melepaskan pegangannya dari lenganku, "apa-apaan ini?!" Aku menggeram kesal padanya. "memangnya ada jaksa yang memaksa seperti ini?! apa kau? jaksa gadungan?" Aku menyentak lenganku sehingga lepas dari pegangannya.
Wanita-wanita yang memakan ramen dimeja sana menatap kami dengan aneh.
Menyadari adanya situasi yang canggung, Hueningkai mengambil langkah mundur kemudian berdehem, "maaf, baiklah. dimana pemilik restoran ini?" ia bertanya kalem, aku mencemooh dan menghela napas. "Dia akan datang, selagi menunggu kau bisa memesan sesuatu." kataku masih dengan nada yang sedikit kesal. Hueningkai mengangguk dan mengambil duduk dimeja didekat meja kasir.
Aku meliriknya dari kejauhan, melihatnya tumbuh dewasa dan sehat membuat hatiku terasa dikoyak.
"Aku memang tidak-belum, memiliki gambaran untuk masa depanku. namun, tidak bisa berbuat apapun itu menyakitkan." Hueningkai berujar.
Hawa sekolah menengah atas itu terasa hampa, aku duduk diatas meja dengan tanganku menempel meja, Hueningkai berada didepanku dengan kacamata tebalnya, tangannya menulis catatan rumus, ia melirikku dengan mata lelahnya.
"Kamu terus bertanya tentang untuk apa aku belajar, tetapi bagaimana denganmu, Bam-giyu?"
Suaranya terdengar dingin.Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi, aku menjawab. "Aku tidak belajar." Aku menutup mataku sebelum kembali menatapnya, aku tidak pernah sekalipun berniat untuk mempelajari sesuatu saat sekolah, aku tidak tau mengapa aku harus belajar, padahal tidak ada sercecah harapan untukku sejak awal.
Hueningkai melepas kacamatanya dan kemudian menghadap diriku, ia mengeluarkan napas lembut dari mulutnya. "Aku heran mengapa kamu bisa lulus dari sekolah menengah pertama. kamu tidak pernah sekalipun menatap pelajaran, tetapi kamu tidak pernah absen." Katanya. "Lalu apa tujuanmu dimasa depan, Choi Bam-giyu?"
Aku terkekeh mendengar analisis tepatnya tentangku. Hueningkai sudah berada didekatku sejak aku memasuki sekolah menengah pertama.
aku tidak tau apakah aku bisa menyebutnya teman saat itu, kami tidak pernah terlihat seperti teman. merasa canggung dan dingin satu sama lain. itu bagiku, aku tidak tau apa pendapat Hueningkai terhadapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
one to one way
Fanfiction"daun beku itu telah menipu runtuhan butir salju." . . . Pria muda di depannya terlihat terdiam, dia hanya mengangguk. "Anda hanya.. terlalu mencintai diri anda sendiri. Ide dari keputusasaan yang anda miliki terlalu berharga untuk ditinggalkan." Di...