𝕠𝕟𝕖 𝕥𝕠 𝕠𝕟𝕖 𝕨𝕒𝕪
Aku yakin Soobin menutup restoran hari ini, sehingga aku sekarang memilih tidak berangkat kesana untuk bekerja. aku hanya memilih setelan biasaku, hanya berlapis kemeja putih, dompet, sepatu butut. namun sekarang aku memiliki barang bawaan baru.
Ponsel.
Aku berjalan keluar sembari memasukkan ponsel pemberian Hueningkai kedalam saku celana. pagi hari di akhir November ini tampak cerah, bekas air hujan menggenang dimana-mana, rasanya begitu segar. sehingga sejenak aku dapat melupakan bayang-bayang mimpi buruk.
Ini hampir jam sembilan pagi, dan aku melangkah dengan cepat ketaman ditengah kota. sebenarnya tidak terlalu jauh dari Flat tempatku tinggal. aku bisa merasakan ponsel itu kembali berdering disaku celanaku, aku dengan cepat mengambil dan mengangkatnya.
"..uh.. halo?"
Suara Hueningkai kembali menyapa runguku.
"Aku ada dibelakang patung gajah."
"Bersabarlah. Aku bahkan belum sampai ditaman kota." aku mendengus pelan dan langsung mematikan ponsel.
Aku kembali melanjutkan perjalananku, trotoar disini mengembang cukup luas, dan aku menyadari adanya perbaikan baru. diam-diam aku mengernyit takjub, ada banyak lampu-lampu kecil jalanan berwarna-warni. aku yakin saat malam hari, pasti terlihat cantik.
karena aku sibuk melihat-lihat sekitar, sesuatu menabrak kakiku membuatku tersentak kaget.Kemudian disusul suara tangisan balita yang menyakitkan gendang telinga.
Aku menunduk kebawah, ada balita laki-laki disana. ia terduduk sembari menangis keras, orang-orang disekitarku mulai saling berbisik dan menoleh kearahku. aku berkeringat, mencoba mengabaikan tatapan mereka. aku ikut duduk didepan bocah itu, meski sebenarnya aspal dibawahku sedikit basah dan jelas memalukan jika figur dewasa sepertiku duduk ditengah jalan.
Tapi kudengar anak-anak akan tenang bila kita berakting sama seperti apa yang mereka lakukan.
Bocah itu mulai berhenti menangis dan menatapku dengan bingung. aku menghela napas. ia sangat kecil sehingga aku tidak menyadarinya sama sekali. bocah itu kemudian menunjuk daguku dengan jari-jari mungilnya dan kemudian tertawa keras, meski terlihat jelas bahwa pipinya memerah dan matanya masih basah karena air mata. aku mengernyit melihatnya, dan mengusap daguku sendiri.
Ah.. mungkin terlihat membiru sekarang. Ketika aku menyentuhnya rasanya perih.
Juga, kemana orang tua anak ini? aku menoleh kesekitar dan kemudian menemukan anak kecil lainnya berlari kearah bocah didepanku dan mendekapnya.
Oh? Wajah mereka berdua sama persis.
Saudaranya itu menatapku dengan sinis.
Aku mendesah pelan dan perlahan berdiri. aku tidak mengucapkan apapun dan hanya berlalu pergi. lagi pula aku akan menghabiskan waktu jika berlama-lama dengan bayi-bayi itu.
Rasanya aku pernah melihat wajah saudara kembar itu, aku kemudian menggelengkan kepalaku cepat dan kembali berjalan. hingga aku sampai ditaman ditengah kota, aku menghembuskan napas lelah. tanganku terangkat untuk berpegangan pada batang pohon disampingku, tetapi saat aku merabanya lagi, ternyata itu lengan orang lain. aku tersentak kaget dan langsung membungkuk meminta maaf dan segera beranjak pergi karena malu.
"Apa benturan dipagi hari tadi mengacaukan isi kepalaku..?" aku bertanya-tanya tak habis pikir.
Hingga kemudian, pandanganku bertemu pada patung gajah berwarna abu-abu. tak jauh.
aku segera berjalan kesana. Hueningkai duduk dibangku dibelakang patung gajah tersebut. ia mengenakan jasnya seperti biasa. aku memanggilnya saat langkahku membawaku mendekat kearahnya. Hueningkai melambai dengan senyuman khasnya dan berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
one to one way
Fanfiction"daun beku itu telah menipu runtuhan butir salju." . . . Pria muda di depannya terlihat terdiam, dia hanya mengangguk. "Anda hanya.. terlalu mencintai diri anda sendiri. Ide dari keputusasaan yang anda miliki terlalu berharga untuk ditinggalkan." Di...