Ø₦Ɇ
.
.
.Hakikat kembali tersebar.
Aku menjadi ingat sebuah pertanyaan yang aku suarakan didalam batin dahulu saat mengunjungi sebuah gereja tua.
"Apakah jika manusia terlahir, setiap dari kehidupan mereka masing-masing diberikan pinalti?"
Itu sama seperti; apakah rasa sakit dan derita adalah sebagai bayaran setimpal untuk kelahiran anak manusia tersebut?
Kelahiranku hanya mengotori dunia, itu sebabnya tuhan memberiku mental bengkok dan mengambil kewarasanku sebagai bayaran atas kelahiranku.
Lahir dari rahim pelacur rendahan.
Merepotkan ayah, ibu tiri dan saudara karena mental bengkok yang aku miliki.
Kalau begitu, apakah hakikatnya manusia benar-benar bebas dan suci sejak bayi?
Ketika aku melihat bagaimana dunia disekitarku berjalan. aku selalu tidak mengerti bagaimana bisa manusia bisa berekspresi sebebas itu.
"Kamu melamun."
Suara Yeonjun mengagetkanku.
Aku kembali kepada kenyataan dan berdehem. aku dan Yeonjun saat ini sama-sama duduk didepan sebuah minimarket. Yeonjun menyesap kopi kalengnya dan bersandar.
"Bagaimana dengan pekerja baru direstoranmu, yang kamu sebutkan tadi?"
Ia bertanya, aku menghela napas, mencoba menghilangkan kegelisahan didalam dada.
"Dia.. tampak masih sangat asing dengan pekerjaannya sendiri."
Alis Yeonjun naik.
"Oh ya?"
"Ya. jika disuruh melakukan apapun dia memang menurut saja tanpa bersuara. aku cukup kesulitan karena berkomunikasi dengannya sedikit susah. tapi kurasa ia mengambil pekerjaan ini dengan serius. tidak seperti beberapa pegawai yang belum sampai tiga hari sudah undur diri. itu membuatku muak."
Yeonjun mengangguk-angguk mengerti.
"Jadi begitu, ya. Biarkan saja. mungkin ia sendiri yang kesusahan mengungkapkan ekspresinya. aku ingin bertemu dengannya, kurasa aku penasaran. bisakah?"
"Tentu saja, kapanpun kamu berkunjung kerestoran. Dia lumayan lucu, jadi kamu tidak perlu ragu mengajaknya bicara.."
"Haha..."
"Hahaha..."
Kami sama-sama melemparkan tawa ringan yang bahkan tidak tau untuk apa. tetapi suasana ini membuatku nyaman. aku menyesap sebotol air dingin ditanganku dan meletakkannya diatas meja. kemudian menatap Yeonjun yang kini diam menatap jalanan didepan minimarket. aku meliriknya dalam diam sejenak, kemudian mataku menilik seluruh penampilannya dari kaki hingga kepalanya. dari awal sejak aku dan Yeonjun bertemu, ia selalu mengenakan pakaian serba hitam. hal itu menambah kesan misteriusnya bertambah.
"Yeonjun, apa pekerjaanmu?"
Aku bisa melihat raut Yeonjun berubah drastis saat aku menanyakan hal tersebut. aku mengernyit bingung, apakah pertanyaanku terlalu mengejutkannya? atau mungkin aku terlalu blak-blakan? cukup lama keheningan menjadi nuansa diantara kami, bibir Yeonjun terbuka untuk menjawab.
"Jika aku memberitahumu, kamu akan membenciku dengan segenap hatimu saat ini juga."
Ia ganti berujar dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
one to one way
Fanfiction"daun beku itu telah menipu runtuhan butir salju." . . . Pria muda di depannya terlihat terdiam, dia hanya mengangguk. "Anda hanya.. terlalu mencintai diri anda sendiri. Ide dari keputusasaan yang anda miliki terlalu berharga untuk ditinggalkan." Di...