[Anthropocentrism, Hyuka 0.1]

57 3 18
                                    

Ø₦Ɇ ₮Ø Ø₦Ɇ
O̵n̵e̵ t̵o̵ o̵n̵e̵

Ketika dia terbangun, hanya ada bintang-bintang yang menjadi surga bagi pandangannya kala itu. keajaiban dan keindahan dari cahaya kerlap-kerlip yang menenangkan, jaraknya jauh dan megah itu mengagumkan, cukup membuat batinnya lebih hidup.

"Kepada hakikat resmi yang utuh.."

Hueningkai tidak mengerti apa itu hakikat yang suara itu maksud.

Kata hakikat selalu mengelilingi benaknya pada setiap pejaman mata yang dia ambil.

Entah suara milik siapa.. yang terus bergema dalam pikiran miliknya.

"Kepada hakikat resmi yang hampir pudar..."

Matanya terbuka, mendapati bahwa kalimatnya berubah.

"Kepada hakikat resmi yang telah jatuh..."

Kata maupun intonasi suara. semuanya berubah total.

Saat dia membuka matanya lagi..

Dia mendapati sebuah lingkup sunyi yang di hiasi kayu berwarna cokelat terang. kulit dari mata kakinya meresap hangat dari sebuah perapian, tidak ada kilat emosi dalam sorot matanya, karena hari itu, kesadarannya tidak terbagi seperti manusia.

'Tidak ada kerlap-kerlip lagi...'

Hueningkai bersuara dalam hati dengan kosong.

"Hmm.. pada akhirnya, kisah dari pejuang Utara itu berakhir mengenaskan. sang pemimpin mengakhiri hidupnya sendiri, memegang kontrak kepada iblis dan membuat serpihan jiwanya sendiri berceceran. kehilangan seluruh kemanusiaan miliknya, berakhir menjadi kepingan salju..."

Suara asing.. lembut.. suara itu sehangat perapian yang membias mata kakinya yang telanjang hari itu.

Ketika dia menggulirkan pupilnya untuk pertama kali, dia ganti mendapati seorang figur asing.. figur asing itu duduk di sampingnya, dengan sebuah buku besar yang terlihat tebal.

"Ah, kamu bangun."

Sosok itu bersuara. ada sebuah senyuman tipis seiring buku besar itu tertutup.

"Akhir ceritanya menyedihkan sekali, bukan? aku juga tidak terima." Sosok itu terkekeh. dia bersandar pada kursi kayu, menatap pemuda yang terbaring di depannya dengan tatapan normal.

Pada detik bersamaan yang jatuh di malam hangat.

Kekosongan dari jiwanya yang tidak terisi, menjadi hampar berkah yang menggiring kebahagiaan dari dunia yang kini ia tinggali.

.
.
.
Ø₦Ɇ ₮Ø Ø₦Ɇ
O̵n̵e̵ t̵o̵ o̵n̵e̵
.
.
.

"Namamu Hueningkai. Bagaimana kedengarannya? Indahnya..."

Pemuda yang terduduk diam di atas kasur empuk tidak bersuara, mengunyah setiap kali suapan bubur dari sosok asing itu terus masuk ke dalam mulutnya.

Sosok asing itu terus mengoceh.

"Sebenarnya bubur itu terbuat dari nasi dan kayu manis yang aku campur dan haluskan secara asal-asalan." Dia berbicara. "Enak, bukan?"

Sepertinya sosok asing itu terus menggali perhatian dari dirinya..

Pemuda yang terdiam sembari mengunyah———Hueningkai, masih tidak bersuara.

one to one way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang