Bagus mengikuti Intan melangkah ke ruang pemotretan di lantai tiga. Berdasarkan informasi yang diberikan sebelumnya, Ivanna mungkin terlambat sekitar tiga puluh menit. Alasan keterlambatan karena dia harus ke salon terlebih dahulu. Dasar artis gak profesional. Kalau Ivanna jadi anak kuliah dan dia ngejar tanda tangan dosen buat ujian proposal, pasti udah disuruh ngulang tahun depan.
Saat Bagus melangkah ke dalam ruangan, tidak terdapat terlalu banyak orang disana. Ada tim fotografer yang sudah siap sedia dan hanya sekitar enam pegawai yang berada di ruangan ini, ditambah seorang MUA dan seorang penata busana. Tak ada wajah familiar kecuali teman sesama divisinya dan seorang wanita yang ia temui di lift kemarin, dari divisi talent management. Namanya itu mba...
"Eh, Mbak Ajeng. Tumben lo kesini, biasanya Mas Adul apa nggak si Yuar yang kesini" sapa Intan kepada wanita tersebut.
Ah, iya. Namanya Mba Ajeng.
"Emang gak boleh kalau gue disini?" balas Ajeng bertanya.
Intan tertawa tak enak, "ya boleh-boleh aja. Cuma tumbenan aja lo ke sini. Ini kan pemotretan doang, mba."
Memang Ajeng jarang malah hampir tidak pernah ikut kegiatan pemotretan. Ajeng itu cukup senior di bagian talent management, biasanya ia lebih ke arah mengurus artis apabila ada kegiatan pers atau perilisan film. Intinya semua kegiatan yang ada campur tangan eksternal. Pemotretan gini biasanya cuma dianggap kegiatan 'ecek-ecek' yang bahkan terkadang tidak diawasi oleh talent management. Tapi, DigMark tetep harus ada buat update di sosmed tentunya.
Nah, itulah alasannya Ajeng datang.
"Lo sendiri aja mbak?" Tanya Intan duduk di kursi samping Ajeng yang kosong.
Ajeng menggerakan alisnya sebagai jawaban. Pandangan Ajeng berpindah kepada Bagus yang bersadar di ujung ruangan sambil memandangi ponsel.
"Tuh si Bagus orang mana sih, Tan?" Bisik Ajeng bertanya.
"Orang Bali, mba. Dari logatnya aja udah kentel banget. Vibes bli-bli gitu."
Ajeng membentuk bibirnya menjadi bentuk o sebagai respon. Intan turut memandangi Bagus yang masih bersandar seorang diri disana. Intan akui, Bagus itu charming dengan pesona maskulin. Cocok buat cuci mata saat bekerja. Dan sepertinya, pesona tersebut sudah kena ke Ajeng yang telah mengenal Bagus pula.
Lah, iya. Mba Ajeng kenal Bagus dari mana?
"Selamat pagi semua!" Seru sebuah suara memecah pemikiran Intan.
Kepala Bagus dengan cepat menengok mendengar sapaan tersebut dari suara wanita yang sepertinya... ia kenal.
"Pagi, Mbak Ivanna!" Balas semua pegawai di ruang pemotretan.
Ah, astaga. Itu Ivanna.
Bagus tanpa sadar langsung mendengus tak suka melihat Ivanna yang masuk bersama seorang wanita. Sepertinya dia belum menyadari keberadaan Bagus yang ada di ujung ruangan.
"Mba Ivanna, rambut baru nih ya?" tanya Ajeng menyadari perubahan signifikan yang mencolok dari Ivanna.
Ivanna langsung tersenyum lebar, "cepet amat nyadarnya lo, mba. Gimana cocok gak?"
"Cocok sih rambut merah buat lo, mba. Cakep parah" puji Ajeng kepada Ivanna.
"Lagi demen warna merah ya, mba? From head to toe merah semua gitu." Timpal Intan kini.
Mata Bagus tanpa sadar menilai penampilan Ivanna dari ujung kepala hingga kaki. Setelah seminggu tidak bertemu, Ivanna mengubah penampilannya ternyata. Rambut wanita itu berubah menjadi merah gelap, gaun wanita itu pun senada dengan rambutnya. Tak ketinggalan sepatu haknya yang juga berwarna merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Demon I Cling To
RomanceSeingat Ivanna, Bagus adalah pria yang bernasib sama dengannya dan penampilan pria itu dibawah rata-rata. Bukannya Ivanna bilang Bagus jelek, ia tampan! Sungguh! Wajahnya penuh ketegasan dan tatapannya menusuk. Hanya saja, pria itu tidak bisa berpen...