Bagus berjalan kembali ke Stadion Tugu seorang diri. Tidak bersama dengan Sugoy, pria itu harus datang ke press conference rilis album Hugo Fernandus. Jadilah Bagus sendirian kini, disaat teman magang lainnya tengah pergi makan bersama, Bagus memilih pergi makan sendiri. Sejujurnya, selain karena merasa kurang nyaman dengan mereka, Bagus ingin sendiri agar bisa chatting atau telfonan dengan Ivanna sepuasnya.
Hehehe.
Namun saat Bagus masuk ke dalam Stadion tersebut, ia langsung dikejutkan dengan Ajeng yang sedang dalam keadaan berurai air mata. Keduanya saling bertatapan dan sama-sama terdiam. Jujur saja, Bagus bingung harus apa dan nalurinya malah menengok ke kiri dan kanan. Sedangkan Ajeng beralih menatap lurus ke depan dan masih meneteskan air mata dalam diam.
Engken ni? (Gimana nih?)
Serba salah. Pergi begitu saja salah, namun berdiam juga salah. Bagus berdeham mencoba melangkah tanpa bersuara. Ia tak tahu keputusannya benar atau salah, namun mau gimana lagi? Ia sudah terlanjur.
Bagus mengambil ranselnya yang berjarak dua kursi dari Ajeng dan mengambil beberapa helai tisu yang selalu ia bawa. Bagus kembali ke duduknya dan memberikan tisu tersebut kepada Ajeng. "Maaf, kak. Aku gak maksud ganggu."
Ajeng melirik sodoran tangan Bagus dari sisi matanya, wanita itu menghela nafasnya lantas menerima tisu dari Bagus. "Makasih ya, Gus," Ajeng menyapu wajahnya dengan tisu pemberian Bagus, "justru aku yang minta maaf karena kamu harus ngeliat aku lagi nangis gini."
"Gak apa-apa, kak."
Satu hal yang terpikirkan oleh Bagus kini, harusnya Sugoy ada disini!
Ajeng tertawa paksa, "jangan disebar kemana-mana ya, aku lagi nangis begini."
"I-iya, kak."
Keduanya kembali terdiam. Tisu yang diberikan Bagus bahkan sudah menjandi gumpalan. Air mata Ajeng masih berlinang dan Bagus masih bingung harus melakukan apa.
"Kamu gak mau tanya kenapa aku kayak gini, Gus?" Tanya Ajeng tiba-tiba membuat Bagus menengok ke arahnya.
Bagus tentu saja ingin tahu dibalik alasan menangis Ajeng, namun tak mungkin kan dirinya bertanya. "Gak, kak," jawabannya terasa salah. Bagus tak mau dicap sebagai seseorang yang acuh. "Tapi kalau Kak Ajeng mau cerita, saya siap denger."
Ok, jawaban tersebut terdengar aman. Toh, Ajeng tak akan bercerita masalahnya kepada orang asing.
"Aku dijodohin, Gus."
Oh... oke. Bagus kaget.
Ajeng menarik nafasnya menahan tangisan yang kembali akan keluar. "Aku dijodohin karena kakak aku gak mau. Kakak aku hamil di luar nikah, dan aku harus gantiim dia."
Bagus menghela nafasnya, tak tahu harus apa. Kata 'hamil di luar nikah' mengingatkan Bagus akan mboknya. Namun jelas, kisah mboknya dan Kak Ajeng berbeda.
"Kamu kaget gak sih, jaman sekarang masih ada perjodohan?"
Ajeng menengok kearah Bagus dan mendapat jawab berupa anggukan.
"Aku juga kaget, Gus. Kaget banget," setetes air mata kembali jatuh, "dan aku lebih kaget karena aku yang bakal dijodohin."
Ajeng kembali menangis.
"Aku gak mau nikah, apalagi karena paksaan, Gus. Aku masih muda dan mau ngejalanin kehidupan aku yang bahkan masih aku rintis. Aku bahkan gak tahu siapa yang bakal dijodohin sama aku nanti." Ajeng menelan ludahnya dengan sulit karena tersedu.
"Ini semua salah kakak aku yang dengan bodohnya malah ngelakuin seks sama mantannya disaat dia bahkan tau kalau bakal dijodohin." Ajeng mengusap matanya kasar, "anjing banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Demon I Cling To
RomanceSeingat Ivanna, Bagus adalah pria yang bernasib sama dengannya dan penampilan pria itu dibawah rata-rata. Bukannya Ivanna bilang Bagus jelek, ia tampan! Sungguh! Wajahnya penuh ketegasan dan tatapannya menusuk. Hanya saja, pria itu tidak bisa berpen...