9. Really?

2.3K 158 22
                                    

Bagian ini mengandung unsur [+18] diminta kebijaksanaanya.

Selamat membaca.

Bagus dan Ivanna sepakat bahwa Bagus akan membayar sewa di bulan kedua, dan Bagus bisa mengecek kondisi motornya terlebih dahulu. Bagus sedikit kaget karena mengetahui bahwa motor yang disewakan adalah Yamaha Aerox 115. Bagus pikir wanita itu akan menyewakan Honda Scoopy yang biasa digunakan wanita.

Ivanna telah memberikan kuncinya kepada Bagus yang berarti urusan mereka telah usai, setidaknya begitulah yang dipikirkan Bagus. Namun Bagus salah karena Ivanna meminta Bagus untuk menemani dirinya kembali ke unitnya. "Gue takut kalau di lift sendirian, nanti kalau pingsan siapa yang angkut," begitulah alasannya.

Bagus malas. Sumpah. Tapi ia tidak enak untuk menolak setelah 'kebaikan' Ivanna. Jadi disinilah mereka memasuki lift dan menuju ke lantai 10, lantai dimana unit Ivanna berada.

"Lo bisa bawa motor segede itu?" Tanya Ivanna berbasa basi.

"Bisa. Di Bali motor saya sejenis itu juga, jadi sudah terbiasa."

Setelah perbincangan mereka selama satu jam tadi, Bagus mulai santai kepada Ivanna. Tatapannya tak sinis lagi walau masih siaga. "Nanti ajarin gue dong bawa motor. Soalnya kalau lo balik ke Bali, itu motor nganggur lagi."

Bagus mengangkat satu alisnya, "memang Mbak Ivanna ada waktu?"

Berpikir sejenak lantas Ivanna menjawab, "paling malem gini sih, tergantung jadwal gue. Nanti kalau lo mau ajarin gue, gue kasih gratis 2 bulan deh."

Bagus mendengkus, "gak usah, mba. Lebih baik mba belajar sama profesional. Saya gak pandai jadi tutor—" Bagus tercekat dengan perkatannya sendiri.

"Apa?" Tanya Ivanna menatap Bagus yang berubah kaku kini. "Lo ngomong apa tadi?"

"Bukan apa-apa." Respon Bagus singkat.

Bagus mudah tersipu, ia akui itu. Dirinya tersipu dan salah tingkah sendiri kala mengigat kata 'tutor'. Alasannya tentu saja karena kata tersebut menginggatkannya kepada peristiwa 'gue bakal jadi tutor lo' setelah dirinya dan Ivanna ber— Ah! Lupakan.

"Jadi, lo mau ngajarin gue naik motor atau enggak?" Tanya Ivanna sekali lagi.

"Saran saya, mba cari pengajar profesional saja."

Ivanna berdecak. Tinggal bilang mau apa susahnya sih good boy! "Tapi gue maunya diajarin sama lo."

"Saya gak bisa, mba."

"Lo pernah ngajarin orang bawa motor gak sebelumnya?"

Bagus masih menatap pantulannya di pintu lift sedari tadi. "Hm, pernah. Adik saya."

"Ya udah, berarti lo bisa." Lontar Ivanna mendengus. "Ajarin gue ya, lo jadi tutor gue gitu."

"Gak!" Seru Bagus mengejutkan Ivanna.

"Dih, kenapa lo tiba-tiba? Kaget tau gak." Omel Ivanna menghadap ke Bagus. "Kalau gak mau jadi tutor gue tinggal bil—"

Belum sempat Ivanna menyelesaikan perkatannya, Ivanna kembali menyadari bahwa ekspresi Bagus berubah kaku. Ada apa sih? Ekspresinya seperti seseorang yang menahan amarah. Tapi, kenapa?

Oke, Ivanna coba mikir.

"Maaf mba, saya gak bisa menjadi... hm.. menjadi guru... atau... ya..."

"Tutor?" Tanya Ivanna yang kembali membuat Bagus menghela nafasnya.

Ah! Tutor!

Ya, Ivanna tahu! Huahahahaha!

Oh, jadi Bagus masih kebayang-bayang Ivanna yang menawarkan jadi tutor untuknya ya. Si good boy ini sedang gugup sekarang. Lutunaaaaa.

The Demon I Cling ToTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang