Gak tau lagi gabut, jadi up hehe....
Langsung aja
Happy Reading!
****
"Hati hati. kalau udah puas mainnya kabarin saya."
Rara mengangguk, tapi tak ada tanda tanda darinya untuk beranjak keluar dari mobil padahal teman temannya sudah sampai duluan di mall.
"Kok belum turun?"
Rara mengadahkan tangannya. "Uangnya manaaa?" pinta Rara dengan manja.
Deva terkekeh, dia lupa kalau istri kecilnya ini belum dikasih uang jajan.
"Sepuluh juta cukup?" Deva menyerahkan kartu ATM-nya.
"WHAT! SEPULUH JUTA!" pekik Rara terkejut bukan main dengan nominalnya.
"Usahakan sisain untuk sedekah ke pengemis dan kamu boleh bayarin teman teman kamu asalkan niatnya untuk sedekah bukan riya, mengerti?"
"Siap. Mengerti!" kata Rara dengan posisi tangan hormat.
"Rara duluan ya, nanti kalo udah pasti dikabarin kok." Pamit Rara seraya mencium tangan suaminya.
"Hati-hati," Deva mengusap puncak kepala Rara yang terbalut kerudung pashmina berwarna cream.
Deva memperhatikkan Rara yang mulai menjauh memasuki pintu masuk Mall. Matanya sedikit memicing ketika pandangannya melihat sebuah mobil hitam berplat khusus terparkir tak jauh darinya.
Deva mengenali plat kendaraan mobil tersebut, niatnya untuk pergi chek up bersama Avicenna lantas dibatalkan. Ada hal yang harus Deva awasi, ini menyangkut keselamatan Rara dan Deva tak akan membiarkan siapapun mengusik miliknya.
"Yang satu ini gak akan saya biarkan."
****
"Yahh..., dompet gue ketinggalan!" Fadya tampak lesu diujung kalimatnya.
"Gue gak bawa uang banyak lagi, uang jajan gue dipotong padahal emak gue sekretaris perusahaan." Seloroh Rheina memberitahu.
"Kalian tenang aja, tiket nya gue bayarin." Ujar Rara seraya mengacungkan kartu ATM milik Deva.
"Widihh, mantap juga nih istri muda." Goda Fadya.
"Kalo gitu gue juga mau nikah muda biar duitnya banyak." Kata Rheina yang dihadiahi toyoran keras dari Fadya.
"Mending kalo suami lo modelannya kek Ustaz Deva atau dady sugar lah kalo dapet yang kere lo juga yang rugi."
Rheina mengusap jejak toyoran Fadya yang tak punya hati itu. "Iya, kan gue cuma bercanda."
Rara memutar bola malas melihat kelakuan kedua sahabatnya yang selalu saja meributkan hal kecil. Langsung saja Rara mengajak mereka masuk kedalam bioskop setelah membeli tiket dan pop corn.
Selang beberapa menit kemudian film di mulai. Genre film yang mereka pilih adalah horor. Mereka duduk di bangku pertengahan supaya tak terlalu takut katanya.
"Sumpah, Fad. Baru mulai aja udah gemeteran gue." Ujar Rheina seraya memalingkan wajahnya ke samping
"Lebay lo." Cibir Fadya di sela makan pop corn.
Rara yang duduk di antara keduanya tampak anteng dan tak banyak omong. Tatapannya memang lurus ke layar lebar yang tengah menunjukan adegan kepala buntung si setan, tetapi pikiran Rara malah melayang membayangkan bahwa dia tengah menonton film horor bersama Deva dan tiap kali melihat adegan menegangkan dia akan berpaling memeluk suami tampannya itu. Uh, membayangkannya saja sudah membuat perut Rara seketika geli, apalagi jika hal itu benar benar terjadi detik ini.
"Napa lo senyum senyum?" tanya Rheina di sela sela ketakutannya menonton film horor.
Rara menggeleng, ternyata dia sampai tersenyum sendiri dengan khayalannya.
"Gak apa apa."
"Aneh lo! Orang mah takut kalo nonton film horor tuh bukan senyum senyum."
"Udah biarin aja sih, terserah dia selagi gak kesurupan." Lerai Fadya seraya mencomot pop corn milik Rheina karena miliknya sendiri sudah habis.
"Eh, pop corn gue!"
"Punya lo masih banyak Rhei, yang gue udah habis." Kata Fadya seraya menunjukan bungkus pop corn nya yang sudah tak tersisa.
"Nih, ambil kalo kurang." Rara menyodorkan cup pop cornnya yang masih penuh.
"Nah kek Rara noh, kagak pelit." Cibir Fadya.
"Aelah pop corn doang, entar gue beliin deh sepuluh buat lo." balas Rheina tak terima di bilang pelit.
"Syuttt..., kalian berisik banget!" bisik Rara yang menghentikan perdebatan mereka.
Mereka pun kembali fokus menonton film horor tersebut. Meskipun beberapa kali Rheina menjerit karena ketakutan sehingga semua atensi penonton mengarah kepada mereka.
Memalukan? bukan bestie namanya kalau belum malu maluin di depan umum.
****
"Sudah puas mainnya?"
Rara mengangguk seraya mengangkat dua Tote bag nya yang berisikan aneka cemilan rasa strawbery dan boneka serta benda benda kecil lucu lainnya.
"Sholat udah?"
"Udah dong!"
"Istri pintar!" Deva menepuk gemas puncak kepala Rara yang terbalut pashmina cream.
"Silahkan masuk, Queen." Deva membukakan pintu mobil untuknya.
"Terimakasih, King Deva." Rara membungkukkan badannya terlebih dahulu sebelum masuk.
"Kita ke pesantren sekarang ya," kata Deva seraya memasangkan seatbelt.
"Oke, let's go!" balas Rara dengan antusias.
"Kamu gak capek?" tanya Deva memastikan karena khawatir Rara akan kelelahan setelah hampir seharian penuh jalan jalan.
"Enggak. Kan habis healing tadi jadinya gak cape hehe..."
"Habis nanti uang saya kalau tiap hari." Celetuk Deva yang seraya menyetir.
"Ih kan baru sekali, tapi kalo mau tiap hari juga boleeeehh..."
Deva hanya menggelengkan kepala, tak terbayang bagaimana keuangannya nanti jika tiap hari istrinya begini.
"Mas..."
"Hmm..."
"Itu tangannya kok diperban lagi?" tanya Rara, pasalnya baru kemarin malam tangan Deva terluka dan sekarang sudah di perban baru lagi.
"Bekas luka kemarin belum kering terus tadi gak sengaja kesiram air panas jadi harus diperban."
"Ih pasti sakit ya, coba siniin tangannya."
"Ra, saya lagi nyetir. Lagian juga gak terlalu sakit kok."
"Beneran?" Rara memastikan, tersirat raut kekhawatiran di wajahnya.
"Iya, baby..." Deva mencubit gemas pipi Rara dengan satu tangannya.
Rara mengaduh kesakitan, seketika kekhawatirannya pun mereda.
"Maaf Ra, saya berbohong." batin Deva.
****
Huhuyy.... Dikit dikit dulu ya.
Entar lanjut lagii
Bye!
VOTE + KOMEN❤️🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Devara
Teen FictionIni bukan kisah tentang anak gang motor dengan gadis polos. Bukan kisah seorang Gus yang di jodohkan dengan Ning yang sholehah. Kisah ini untuk Devara.... Allah telah merangkai alur menulisnya dengan qolam di atas lembaran kertas takdir. Devara...