EMPAT PULUH DELAPAN

173 11 0
                                    

"Mas Deva..."

Rara melenguh sejenak dan membuka matanya dengan gerakan perlahan.

"Mas Deva..."

Rara mencari keberadaan sosok yang dipanggilnya. Namun, gadis itu tak kunjung menemukan Deva di penjuru kamar.

Dari luar kamar terdengar suara langkah kaki yang berjalan tampak berjalan tergesa. Rara mendekat ke arah pintu sebelum langkahnya terhenti mendengar ketukan pintu dari baliknya.

"Ra.. Ini gue Avicenna."

"Kalau mau keluar kamar pakai dulu kerudungnya."

Rara mengangguk patuh meski Avicenna tak melihatnya secara langsung. Setelah memakai kerudungnya dan memakai baju lengan panjang Rara pun membuka pintu.

"Mas Deva kemana?" tanya Rara.

"Lo kebangun Ra, mau minum? Gue ambilkan."

"Mas Deva kemana?" Rara bertanya kembali dengan sedikit penegasan.

Avicenna menghela nafas pendek, "gue juga gak tahu. Dia gak bilang mau pergi kemana Cuma bilang dia sedang ada urusan dan menyuruh gue buat jagain lo sementara dia pergi."

"Kenapa lo mau jagain gue di rumah? Sedangkan lo sendiri gak tahu dia pergi kemana? Pasti ini bukan sekadar urusan kantor sampai dia gak ngasih tahu mau pergi kemana."

"Gak ada alasan gue buat nolak perintah bang Deva, karena gue percaya apapun yang dia lakukan itu untuk kebaikan dia sendiri dan juga lo."

"Tapi gue khawatir Avicenna... Gue takut mas Deva kenapa napa karena pergi di jam segini." Raut wajah gadis itu tampak khawatir, buliran air mata di kelopak matanya hampir terjatuh.

"Gak akan Ra, lo harus percaya itu."

"Takdir gak ada yang tahu Avicenna! Lo harusnya temani dia pergi bukannya temani gue disini. Mas Deva pasti akhir akhir ini kecapean ngurus gue dan sekarang dia tiba tiba pergi sendi-" kalimatnya tersendat karena gadis itu meluapkan tangisannya.

"Gue merasa bersalah karena gue mas Deva harus ekstra jagain gue akhir akhir ini..."

"Harusnya gue bisa ikhlas dengan cepat-"

"Ra... Lo pikir ikhlas atau rela itu semudah kata? Itu hal yang wajar dan sudah kewajiban Deva untuk jagain lo disaat seperti ini."

"Tapi tetap aja gue merasa bersalah." Rara menundukkan kepala dan mengusap air matanya.

"Don't cry Ra, seorang raja sudah seharusnya menjaga ratunya."

Rara sedikit mengangkat kembali kepalanya, tatapan keduanya sejenak beradu.

"Sampai kapanpun Deva adalah rajanya dan lo sebagai ratunya."

****

Kazama mengajak Deva untuk masuk ke kamarnya, setelah sang ayah merasa lebih tenang dan berhenti memarahi Deva.

"Buka bajunya bang."

"Ngapain?"

"Buka aja!"

Deva menurut, lelaki itu membuka pakaian atasnya. Deva berpikir jika Kazama akan memukulnya kembali untuk menyalurkan semua emosi yang tertahan. Namun, di luar dugaan Kazama ternyata ingin mengobati luka punggung Deva.

Kazama mulai mengolesi obat merah di punggung sang kakak, "jangan sampai lo pulang dalam keadaan kacau begini."

Deva masih diam, tak merespon.

"Bukannya gue membela lo, gue cuma takut Rara khawatir nantinya."

Deva berdecak, karena tak ingin dikasihani oleh Kazama. "Gak usah obatin gue kalau gitu."

"Ssttt aww!"

"Diem makannya jangan banyak gerak!" omel Kazama karena Deva banyak gerak.

"Kenapa sih lo akhir akhir ini suka bertindak tanpa pikir panjang?" tanya Kazama dengan tangan yang sibuk mengolesi obat merah.

Deva melemparkan tatapan tajam, "maksud lo?"

"Masa gitu doang gak paham."

"Ck, lo pikir yang gue katakan tadi tanpa berpikir panjang?"

"Keliatanya sih gitu."

Deva merotasikan bola matanya menahan kesal sekaligus marah pada adiknya.

"Rara cerita ke gue kalau sebelum kepeleset dia ditelepon papa pake kalimat ancaman."

Pergerakan tangan Kazama terhenti sejenak, "hah? Papa? Pa- pa ngomong apa emangnya?"

"Papa nakut nakutin Rara kalau gue bakal mati sebentar lagi."

"Dan setelah itu Rara sempet berpapasan dengan office boy yang sedikit mencurigakan."

Kazama terdiam, mencerna semua perkataan Deva.

"Kenapa lo diem?"

"Gue rasa itu bukan papa."

"Papa gak mungkin main teror teror gak jelas, dan sekarang papa udah berubah."

Deva tertawa hambar, Kazama terhenyak melihatnya.

"Lo juga berubah Zam."

"Maksud lo apa bang! Gue bilang kayak gitu karena gue yang hampir tiap hari ngurusin papa ketika kesehatannya memburuk."

"Kesehatan papa memburuk?"

Kazama menunjukkan senyum smirk, "benar kata gue. Lo mana tahu kalau kondisi papa memburuk ditambah dengan sikap lo yang selalu memikirkan Rara daripada Papa sendiri."

Deva diam dan membiarkan Kazama membeberkan fakta sembari mencelanya. Karena mungkin merasa yang dikatakan Kazama itu benar.

"Akhir akhir ini papa sering melamun dan diam diam sering megang album foto lama."

"Gue gak bohong, kalau papa sering nanyain lo. Sebenarnya ini rahasia karena papa masih malu buat nampakin pedulinya mengingat dulu pernah hampir menenggelamkan anaknya sendiri."

"Papa lebih sering nanyain kabar lo daripada kabar gue," Kazama menjeda ucapannya.

"Selama beberapa minggu terakhir Rara mengirimkan buah buahan untuk papa dan tentu itu tanpa sepengetahuan lo... Karena Rara tahu kalau dia izin ke suaminya pasti bakal dilarang karena suaminya mengira bahwa papa bakal nyakitin dia lagi tapi ternyata enggak sama sekali." Kazama menyindir Deva dengan kata 'suaminya'

"Ketulusan Rara juga yang membuat papa perlahan luluh dan mulai menerima Rara. Bahkan kondisi Papa ikut drop ketika tahu kalau calon cucunya udah gak ada."

Deva tak mengatakkan sepatah kata apapun, ada perasaan menyesal karena selama ini telah mengabaikan sang ayah juga membatasi interaksi antara Rara dan David.

"Gue yakin bang, yang Rara dengar itu bukan suara papa yang asli mungkin semacam suara AI. Gue juga yakin pasti ada seseorang yang ingin menghancurkan kita semua dan pastinya lo jadi sasarannya karena lo-

"Karena lo adalah harta yang paling berharga bagi Papa."

****


Untuk DevaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang