EMPAT PULUH LIMA

230 11 4
                                    

Sorot lampu terang menusuk netranya, yang dilihat pertama kali adalah sebuah ruangan serba putih dan seorang lelaki berkemeja putih tengah tertidur di samping ranjang sambil menggenggam tangannya. Rara mencoba menegakkan tubuhnya dengan gerakan sangat pelan supaya Deva tak terbangun karena pergerakannya.

"Ehmm..." Deva melenguh pelan sepertinya tidur lelaki itu sedikit terganggu karena pergerakannya.

Rara menyunggingkan senyum melihat Deva yang tertidur seperti itu. Namun, senyuman itu tak berlangsung lama ketika dirinya kembali merasakan pening dan kram di area perut membuat Rara mengaduh kesakitan.

Deva seketika terbangun begitu mendengar suara ringisan Rara. Dengan mata yang masih memerah karena baru bangun tidur lelaki itu dengan sigap menanyakan bagian mana yang terasa sakit. Begitu Rara mengatakan bahwa gadis itu merasakan kram di area perutnya, raut Deva seketika berubah menjadi cemas.

"Ada apa mas?" tanya Rara di tengah rintihannya.

Deva sedikit menunduk seraya menggeleng pelan. Rara tahu jika Deva tengah menyembunyikan sesuatu yang tak diketahui dirinya.

Deva meraih tangan Rara lalu menciumnya singkat "sayang, kamu tahu arti ikhlas?" tanya Deva tiba tiba.

Rara mencoba mengingat perkataan Deva yang pernah membahas tentang keikhlasan sebelumnya, "menerima takdir Allah tanpa mempertanyakannya atau menyalahkan."

Deva mengangguk mantap, senyuman tulus terukir pertanda bahwa lelaki itu bangga pada sosok perempuan di hadapannya. Rara sudah banyak berubah menjadi pribadi yang lebih baik tentunya.

"Berarti kalau misalkan..." Deva menggantungkan kalimatnya.

"Misalkan apa mas?" tanya Rara sembari meringis kecil karena kram di perutnya.

"Kalau misalkan bayi kita diambil dulu kamu ikhlaskan?"

Rara membeku, seakan rasa sakit akibat kram itu terhenti sejenak.

"Mas Deva kamu ngo-mong apa?"

Deva mengusap pelan pucuk rambutnya, kedua mata Deva sudah berkaca kaca karena dirinya sendiri merasa tak kuat untuk mengatakan hal mengejutkan itu.

"Ra, dengarkan aku. Tadi kamu pingsan karena terpeleset di kamar mandi dan tadi kamu sempat pendarahan sayang."

"Pendarahan? Jadi cairan tadi itu-"

"Akhir akhir ini kamu kelelahan ditambah tadi kamu terpeleset sehingga dokter menyarankan agar segera dilakukan-"

"Kuretase..."

Rara mengernyitkan dahi, merasa tak asing dengan istilah tersebut "maksud kamu janinnya harus diambil?"

Deva mengangguk dengan sangat pelan.

"Mas kamu pasti bercanda kan?"

"Enggak, sayang."

Rara menggeleng cepat, air mata sudah mulai berjatuhan ke pipinya. Kedua tangan gadis itu hendaknmencengkram rambutnya sendiri namun dengan cepat Deva menghentikan aksi Rara dengan menariknya ke dalam pelukan.

Rara meraung di tengah tangisannya, memukul dada Deva sebagai pelampiasannya.

"Mas! Kenapa bayinya harus pergi disaat Rara udah siap jadi ibu?"

Dada Deva merasa sesak ketika Rara mengatakan itu, namun sebagai pemimpin keluarga lelaki itu tentu harus menguatkan istrinya.

"MAS! BILANG KE DOKTER RARA GAK MAU JANIN NYA DI AMBIL!"

"Sayang, dengerin aku.."

"Janin nya udah gak hidup lagi jadi harus harus dikeluarkan, ikhlas ya sayang..."

Untuk DevaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang