EMPAT PULUH ENAM

196 8 0
                                    

"Rhei, gue mau bicara serius empat mata."

Tatapan dan raut wajah Fadya yang serius membuat Rheina menghentikan aktivitas menulisnya dan beralih menghadap ke arah Fadya.

"Ada apa?"

Fadya melihat lihat ke sekelilingnya, kelas mereka sepi karena ini sudah masuk jam istirahat.

"Ini mengenai Rara."

Mendengar nama Rara disebut, jantung Rheina seketika berdetak kencang.

"Kenapa? Rara udah masuk sekolah lagi?" tanya Rheina terlihat cukup antusias

"Dia masuk karena sebentar lagi ujian."

Rheina menghembuskan nafas lega mendengarnya.

"Tapi, bukan itu yang mau gue omongin."

Rheina mengernyitkan dahi, atmosfer ruangan tampak menegang. "Terus?"

Fadya mendekat; mempersempit jarak antara keduanya.

"Akhir akhir ini gue curiga sama lo."

"Curiga kenapa?" Rheina tampak bingung dengan perkataan Fadya.

"Lo kenapa tinggalin Rara sendirian pas kejadian di mall?"

"Gue kebelet Fad, lagian Rara sendiri yang nyuruh gue untuk masuk duluan ke toilet."

"Seharusnya lo lihat sikon dulu Rhei, masa lo tega tinggalkan dia sendirian?"

"Gue juga gak bakal nyangka kalau nanti nya akan berakhir seperti itu, lagian juga pas gue masuk itu lantai gak licin sama sekali."

"BOHONG!"

Rheina sampai terperanjat kaget karena Fadya tiba tiba meninggikan nada bicaranya.

"Apanya yang bohong Fad?"

"Semalam Rara telepon gue dia cerita kalau sebelum jatuh terpeleset dia sempat mendapat telepon dari nomor yang tak dikenal lalu berpapasan dengan OB yang misterius..."
"Ini pasti ada sangkut pautnya sama lo karena lo sendiri yang tiba tiba ngajak Rara ke toilet."

"Jadi lo nuduh gue sebagai dalang dibalik ini semua?" Rheina menunjuk dirinya sendiri dengan vokal suara yang mulai meninggi.

Fadya mengangguk yakin karena dia telah mempertimbangkan dengan beberapa alasan yang cukup kuat.

"Iya, karena setelah beberapa minggu terakhir lo menjauh dari kita berdua tanpa sebab lalu tiba tiba lo datang lagi ke kita dan langsung ngajak ke mall."

"Lo harusnya paham apa maksud gue, Rhei."

Rheina menggebrak meja hingga menimbulkan suara dentuman yang cukup keras, "sebagai sahabat gue, seharusnya lo tanya kenapa gue tiba tiba menjauh dari kalian berdua bukan malah menuduh gue yang enggak enggak!" Intonasi Rheina terdengar datar namun penuh penekanan.

Rheina sangat jarang menunjukkan amarah dan kekesalannya, berbanding terbalik dengan Fadya yang tipenya cukup blak blakan. Namun, kini Fadya benar benar cukup keterlaluan karena telah menuduhnya sebagai tersangka yang sengaja mengugurkan kandungan sahabatnya. Mungkin, kesalahan Rheina juga karena tak menceritakan permasalahannya sejak beberapa minggu lalu karena menurut Rheina sendiri tak semua masalah harus diceritakan saat itu juga pada orang terdekat. Rheina membutuhkan waktu sendirian hingga menemukan waktu yang tepat untuk menceritakan pada kedua sahabatnya.

"Tadinya gue mau menceritakan semua permasalahan gue pas Rara udah masuk sekolah lagi tapi-

"Lo malah menuduh gue yang enggak enggak."

Fadya benar benar tak tahu harus merespon seperti apa. Antara ingin percaya atau tidak pun dia masih bingung.

"Terima kasih Fad. Gue kecewa berat sama lo."

Untuk DevaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang