DUA PULUH TUJUH

379 13 0
                                    

"Rara kecewa sama kamu mas."

TUT!

Mendengar kalimat terakhir Rara membuat Deva mencengkram kuat Hpnya, dalam situasi seperti ini lelaki itu harus mengendalikan emosi yang sebenarnya menggebu. Dihadapannya ada urusan kantor dan meeting dengan klien istimewanya sedangkan disisi lain ada Rara yang sedang disulut oleh api kemarahan karena sebuah kesalahpahaman. Karena yang pasti, Deva sendiri tak berbuat apapun mengenai rumor yang beredar karena tak ingin merusak kepercayaan Rara.

"Pasti ada yang sengaja mempermainkan HAH!" Deva memukul keras meja kerjanya menimbulkan bunyi dentuman yang cukup keras, lelaki itu lantas beristigfar agar emosinya kembali stabil.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!"

Seorang sekretaris wanita berpakaian rapi dan sopan masuk, yang pasti dia bukan Sekretaris yang menyebalkan itu karena Deva sudah mengeluarkan perempuan gila tersebut.

"Lapor pak, klien sudah datang dan meeting akan segera dimulai."

Deva mengangguk, "baik, tolong bawakan dokumen yang sudah kita disiapkan jangan sampai ada yang tertinggal."

"Baik pak."

****

"Lo kenapa Ra?" tanya Fadya yang diam diam membuntuti Rara ke kamar mandi.

Rara diam tak menjawabnya, gadis itu cepat cepat menghapus air matanya supaya tak terlihat sedih di depan sahabatnya. Namun itu semua telat karena sebagai sahabat yang telah mengenalinya sejak lama tentu saja Fadya memiliki insting yang cukup kuat mengenai perasaan sahabatnya. Seperti kejadian pasca di depan mading, meskipun Rheina meyakinkan bahwa Rara baik baik saja tetapi bagi Fadya ada sesuatu yang mengganjal dan kurang mengenakan dihatinya.

"Gue liat lo nangis." Fadya menahan lengan Rara yang hendak pergi keluar.

Rara melepaskan tangan Fadya dengan gerakan perlahan, "bentar lagi bel masuk kelas." Ucap Rara diakhiri dengan senyuman, gadis itu berusaha meyakinkan pada Fadya bahwa dirinya baik baik saja.

Fadya mengangguk. Rara benar, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyuruh Rara bercerita mengapa Ia bisa menangis bukankah seharusnya Rara bahagia karena namanya telah dibersihkan oleh sahabatnya sendiri? Iya, yang sebenarnya terjadi adalah Fadya yang datang menghadap ke kepala sekolah untuk mengeluarkan surat edaran mengenai peraturan sekolah yang sebenarnya. Meskipun Fadya itu bar bar tetapi jika ada masalah menyangkut mengenai sahabatnya tak segan gadis itu akan mencari tahu tentang kebenarannya. Seperti yang Fadya lakukan kemarin setelah rumor itu tersebar dengan cepat Fadya mencari dan menelaah lebih lanjut mengenai rules yang sebenarnya tentu saja Fadya tak sendirian gadis itu dibantu oleh Rheina.

Di kelas Rara sangat tak bergairah untuk belajar, jika dilihat dari ekspresinya mood nya terlihat sangat berantakan. Ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Indonesia yang menurutnya dari zaman SD dan SMP hanya bertemakan tentang ide pokok paragraf, cerita fiksi dan nonfiksi, penggunaan tanda baca yang baik, pantun dan puisi tak jauh dari itu semua. Namun jika ulangan bahasa Indonesia pilihan ganda soal yang tertulis sudah seperti koran, dan pilihan yang hampir sama saja membuat siswa terkecoh. Sungguh menyebalkan!

Pembahasan guru bahasa Indonesia seketika berhenti, sang guru bertanya apakah ada yang bersedia untuk membacakan sebuah puisi di depan kelas. Hampir semua murid saling bertatapan dengan teman sebangkunya, berharap ada yang mau. Kecuali satu murid teladan yang terkenal dengan kedisiplinannya yaitu Reza, tanpa ditunjuk pun cowok itu sudah maju ke depan.

Rara merotasikan bola matanya, merasa muak melihat Reza yang selalu mencari perhatian. Reza membacakan sebuah puisi karya Chairil Anwar yang dimana lebih dominan membahas tentang kemerdekaan di tahun empat lima, tentu saja intonasi yang dibacakan pun ikut membara sesuai dengan teks puisinya. Seisi kelas fokus memperhatikkan Reza yang membaca puisi dengan suara lantang dan di bagian tertentu Ia akan melembutkan intonasinya. Gemuruh tepuk tangan mengisi ruangan kelas seteleh Reza mengakhiri puisinya, Rara menepuk tangan dengan malas, Tanpa Ia sadari, Reza tersenyum ke arah Rara yang menunjukkan apresiasinya dengan bertepuk tangan.

Untuk DevaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang