"Terkait si penelpon itu akan gue selidiki, lo fokus jagain Rara aja." Kazama menepuk dua kali bahu Deva setelah mengantarkannya ke depan pintu.
Deva menganggukan kepala, "thanks Zam, lo gak mau masuk dulu?"
"Enggak, bang. Gue langsung pulang takut papa butuh apa apa."
"Jagain papa baik baik, gue titip sama lo."
"Pasti."
Setelah Kazama beranjak menuju mobil, Deva melangkah masuk ke dalam rumah. Membuka pintu secara perlahan, di ruang tengah ada Avicenna yang sedang duduk di atas sofa seraya menautkan jemarinya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Avicenna menghampiri Deva, "Rara nanyain lo terus."
"Sekarang Rara dimana?"
"Di kamar."
Deva menganggu mengiyakan, "thanks, Avicenna lo udah meluangkan waktu untuk kesini."
"Sudah menjadi kewajiban, bang. Gue pamit dulu karena besok harus pergi ke desa untuk praktek."
Deva menepuk bahu Avicenna dengan tatapan bangga, "selamat menjalankan tugas dokter."
Avicenna mengangguk hormat, "terima kasih telah membawa saya ke tempat terbaik, leader."
****
"Assalamu'alaikum sayang, aku pulang."
Begitu mendengar suara Deva, Rara langsung melompat dari ranjang lantas memeluknya.
Deva tersenyum lebar seraya sedikit merintih kesakitan karena Rara memeluk bagian punggungnya yang masih terasa sakit karena pukulan ayahnya tadi. Tentu saja, Rara tak mengetahui ada luka di punggungnya karena Deva memakai jaket hitam milik Kazama.
"Jangan lama lama sayang meluknya aku belum bersih bersih soalnya."
Rara malah mengeratkan pelukannya. Membuat rasa sakitnya semakin menjadi jadi. Deva memalingkan wajah untuk menutup ekspresi menahan sakitnya.
"Mas Deva tadi kemana?" Rara khawatir tahu."
"Ada urusan sebentar sama Kazama, sayang."
Rara tiba tiba menangis membuat Deva kebingungan. "Hei kenapa nangis?"
"Mas Deva kenapa gak ngasih tahu dulu mana perginya malam malam."
"Maaf baby, tadi itu penting banget makanya aku suruh Avicenna kesini dulu buat jagain kamu jaga jaga kalau kamu kebangun." Deva mengusap air mata di pipi Rara dengan lembut.
"Ya pasti kebangun lah!"
"Kenapa begitu?"
"Yaa... Mana bisa Rara tidur pulas kalau gak ada kamu." Ucap Rara dengan malu.
Deva mengangkat sebelah alisnya, "ouh jadi begitu?" balas Deva dengan nada menggoda.
"Ish, kamu mah suka mikir yang aneh aneh."
"Aneh aneh gimana? Kamu duluan lho padahal-
"AW! Iya sayang, enggak jangan cubit perut aku dong."
"Buruan sana ganti baju!" perintah Rara seraya mendorong pelan tubuh Deva.
"Kalau gak pakai baju bole- aw! IYA SAYANG AMPUN JANGAN DICUBIT!"
"Kok, belum tidur?" tanya Deva yang baru selesai berganti pakaian.
"Ujian sekolah mulai kapan?"
"Besok."
Deva beranjak naik ranjang, menjadikan sebelah tangannya menjadi penyangga kepala dan menghadap ke arah Rara.
"Kalau besok udah ujian terus kenapa belum tidur, hmm." Deva mencolek hidung Rara dengan gemas.
"Mas Deva."
"Hmm, ada apa?"
Tatapan Rara beralih menatap langit langit kamar.
"Bayi kita sekarang lagi apa ya."
Deva menghela nafas panjang, ternyata itulah alasan mengapa Rara belum tertidur.
"Sini sayang deketan." Deva merengkuh tubuh Rara dan memeluknya cukup erat.
"Dede bayinya lagi di syurga sayang, pasti dia senang karena udah ketemu penduduk syurga."
"Tapi Rara sedih mas, merasa gagal jadi ibu yang baik buat anak kita."
"Kata siapa gagal? Dede bayi pasti bangga punya ibu yang cantik, imut, cerdas, sholehah juga nurut sama suaminya."
"Apaan sih kamu mas berlebihan banget.""Enggak, emang benar kok."
Rara terkekeh, "Rara tuh gak pinter tau mas beda banget sama kamu yang serba bisa."
"Pinter sayang. Kamu tuh paling pinter karena udah dapetin hati aku dan bikin aku jatuh hati sejatuh jatuhnya."
"Kamu belajar gombal darimana sih siapa yang ngajarin hah?"
"Gak ada yang ngajarin aku, semuanya seakan otomatis keluar dari mulut."
"Jadi mulut kamu itu kayak google yang bisa merangkai kata secara otomatis gitu?"
Deva mengangguk kepala dengan lucu sehingga membuat Rara tertawa pulas karena melihat eskpresi yang sangat menggemaskan. Dan ini adalah kali pertamanya Deva melihat Rara tertawa pulas kembali setelah kegugurannya, Deva merasa cukup lega melihat dan mendengar tawanya yang sempat pudar.
"Senang rasanya bisa melihat kembali tawa indah itu."
"Hah kenapa mas?"
"Terus bahagia ya Ra, jaga senyuman dan tawa bahagia itu."
Rara memijat kening Deva dengan gerakan memutar. "Selagi bersama kamu insyaaAllah Rara akan terus bahagia. Maaf ya mas, kalau akhir akhir ini Rara buat kamu kecapean karena harus menjaga Rara denga ekstra."
Deva memijat balik kening Rara dengan gerakan yang serupa, "gak apa apa sayang. Itu sudah kewajibanku sekarang kamu tidur ya biar besok gak ngantuk pas mengerjakkan soal."
"Tidur sambil peluk..." rengek Rara manja seraya merentangkan tangannya.
Dengan senang hati Deva memeluk perempuan kesayangannya, mencium lama puncak kepala dan menghirup aroma rambutnya.
"Jangan lupa baca doa." Bisik Deva ke telinga Rara.
"Selamat tidur, kesayangan Deva."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Devara
Teen FictionIni bukan kisah tentang anak gang motor dengan gadis polos. Bukan kisah seorang Gus yang di jodohkan dengan Ning yang sholehah. Kisah ini untuk Devara.... Allah telah merangkai alur menulisnya dengan qolam di atas lembaran kertas takdir. Devara...