PROLOG

174 3 0
                                    

Rumah megah yang nampak seperti sebuah kastil itu sedikit membuat Nurjanah gugup. Dia belum pernah melihat rumah semegah itu dalam hidupnya. Mungkin ukuran garasi mobilnya lebih bagus dan luas ketimbang rumahnya yang dikampung. Tapi entah kenapa kemegahan rumah itu membuat bulu kuduknya berdiri. Nurjanah mengelus tenguk lehernya, entah kenapa perasaannya menjadi tak enak saat kakinya mulai melangkah memasuki gerbang rumah itu.

Tapi karena tekadnya sudah bulat untuk menemui wanita itu, Nurjanah mengabaikan rasa tak enak dalam pikirannya. Apapun yang terjadi dia harus membuat wanita itu mau membantunya. Meskipun ia harus mengorbankan harga dirinya bahkan rasa malu yang ia miliki sejak lahir. Hanya wanita itu yang bisa membantu mengembalikan semangat hidup dalam diri lelaki yang diam-diam ia cintai sejak pertama kali bertemu.

Nurjanah memandang sekeliling ruang tamu disana. Dirinya seperti seorang upik abu ditengah kemewahan perabotan yang menyilaukan matanya. Meskipun begitulah kenyataan yang sesungguhnya: dirinya memang seorang upik abu yang bekerja dengan juraga Aliong, ayah dari wanita yang ingin ditemuinya saat ini.

Namun semuanya tak seperti apa yang Nurjanah harapkan saat dia mulai menceritakan apa yang terjadi dengan mantan kekasih dari wanita itu. 

"Laki-laki tidak berguna." Guman wanita itu.

Meskipun setengah berbisik, Nurjanah dapat mendengar jelas ucapannya. Darah diseluruh tubuhnya seperti mendidih melihat betapa tak empatinya wanita itu dengan mantan kekasihnya, si Purwanto. Ingin rasanya ia berlari kearah wanita yang sedang duduk pongah disana dan menjambak rambutnya yang ikal bak mie keriting goreng capcay itu. Sudah susah payah pergi ke Jakarta dan membuat janji. Belum lagi membongkar semua celengan ayamnya namun hanya sikap seperti itu yang ia dapatkan. Umpat Nurjanah dalam hati.

Dia menatap tajam wanita yang duduk disebrangnya. Saat pandangan mereka bertemu, Nurjanah baru menyadarinya betapa membiusnya kecantikan wanita itu. Tidak heran kalau wanita itu bisa menikahi seorang politikus dari keluarga kaya di Jakarta. Malahan konon katanya hampir semua lelaki jomblo dan beristri ditanah jawa mengantri untuk meminangnya. Dia hampir saja tak percaya kalau wanita secantik itu adalah bekas mantannya Purwanto, lelaki yang bertampang minus dan hanya seorang kuli bangunan.

"Berguna atau tidak, nyatanya kamu pernah menjadi kekasihnya dan sekarang dia sedang sekarat karena ditinggal kawin sama kamu." Tuturnya dengan muka masam dan ketus. Dia sudah tak peduli lagi kalau wanita itu adalah anak majikannya. Dia sudah siap untuk diusir atau dicincang tubuhnya. Tapi saat teringat tujuannya Nurjanah sedikit menyesali sikapnya barusan. 

Wanita itu memandang Nurjanah yang sedang menatap tajam kearahnya. Belum ada yang berani menatapnya seperti itu. Apalagi dari seorang pelayan yang bekerja dengan keluarganya. Wanita itu tersenyum lalu menatap dalam mata yang sedang menatapnya tajam. 

"Kamu mencintai Purwanto?"

Nurjanah tak siap dengan pertanyaan yang mendadak itu. Tetapi dia juga tak bisa menghindarinya. "Aku akan menjaganya agar dia kembali seperti yang dulu."

"Kalau begitu tidak ada yang bisa saya lakukan untuk kamu." Wanita itu langsung bangkit dari sofa.

Nurjanah memandang wanita itu tak percaya. Purwanto pasti sudah salah menilai wanita itu. Melihat karakternya yang lembut dan bersahaja mustahil ia bisa mencintai wanita angkuh dan nampak dingin itu, batin Nurjanah. Mau tak mau ia bangkit dari duduknya.

"Aku akan melakukan apapun untuk mengembalikan hidupnya seperti yang dulu lagi. Meskipun aku harus memohon dikaki seseorang." Lalu tiba-tiba Nurjanah bersimpuh dilantai.

"Tolong datang ketempat mas Pur. Dia benar-benar tak mau hidup lagi sejak kamu menikah." Tambahnya sambil terisak.

Wanita itu melipat kedua tangannya didada, memandangi  Nurjanah. Diam-diam dia tersenyum mengejek. Pemandangan itu mengingatkannya pada masa silam dimana seorang gadis remaja memohon bantuan padanya . 

"Kamu yakin mau melakukan apapun untuk dia?"

Tanpa pikir panjang, Nurjanah mengangguk sambil terisak. "Iya, saya akan lakukan apapun."

Wanita itu tersenyum. "Hati-hati dengan ucapan kamu. Mungkin kamu tidak akan bisa membatalkannya lagi nanti."

Nurjanah menggeleng seraya menghapus airmatanya. "Saya tidak peduli. Saya hanya mau mas Pur kembali seperti dulu lagi."

"Baiklah, saya akan membantu kamu tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?"

Wanita itu mendekati Nurjanah lalu memberikan isyarat untuk berdiri. Nurjanah melakukan apa yang diminta oleh wanita itu. Setelah berdiri berhadapan, wanita itu berbisik ditelinganya.

Nurjanah menatap wanita didepannya tak berkedip. Ia berharap wanita itu sedang bergurau. Dia sulit mengartikan senyum dibibir wanita itu itu. Justru senyum itu membuat bulu kuduk dilehernya berdiri dan memaksanya untuk mengelusnya.

Baru saja ia ingin mengucapkan sesuatu tiba-tiba ia merasakan kepalanya pening dan pandangan matanya mulai mengabur. 

"Ya tuhan, apa yang terjadi dengan diriku?" 

Tubuh Nurjanah terhuyung kebelakang. Dia berusaha kembali berdiri dan berharap wanita itu akan membantunya. Namun wanita itu hanya berdiri disana tersenyum menyeringai dengan giginya yang nampak aneh.

"Kamu ... kenapa ...."

Kemudian wanita itu mulai tertawa keras dan tawanya itu semakin tak wajar. Nalurinya mengatakan untuk segera lari dari sana namun tubuhnya semakin sempoyongan tak berdaya. Nurjanah mulai berdoa dalam hati. Namun dia kebingungan, doa apa yang ingin dia lafalkan kalau mengaji saja tak pernah. Sebelum sempat dia mengucapkan kalimat astagfirullah tubuhnya ambruk ke lantai.


* * *





CINDYEMRELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang