Sekembalinya dari restoran, Eddy langsung menuju apartemennya. Dia membatalkan untuk kembali kekantor. Hampir seluruh energinya hari ini sudah terkuras dalam pertemuannya dengan Cindy.
Begitu didalam kamar, Eddy langsung merebahkan tubuhnya dikasur. Pandangannya menerawang ke langit kamar, mengingat kembali makan siang mereka di restoran West Virgin. Dia hampir saja kecolongan saat direstoran, saat Cindy membaca pikirannya. Cindy mulai menunjukkan kemampuannya, namun tentu saja gadis itu tak menyadarinya.
Eddy mengeluh. Menarik nafasnya dalam-dalam. Dia ingin melindungi gadis itu, apapun yang terjadi. Eddy meraih ponselnya, dahinya berkerut saat melihat notifikasi pesan dilayar ponselnya.
"Sekali lagi, makasih banyak ya Mas Eddy. Aku suka makanan disana. Semoga bisa kesana lagi sama Mas Eddy."
Eddy tersenyum lalu jari-jarinya mulai mengetik.
"Senang bisa ketemu lagi." Balas pesannya.
Pesan terkirim. Eddy menghela nafasnya lagi. Bayangan masa lalu kembali melintas. Tentang kisah cinta gadis itu. Tentang perpisahan mereka. Kedua matanya menggenang, Eddy menghapus airmata disudut matanya.
Cindy tersenyum membaca balasan singkat dari pria itu. Tidak ada basa-basi bahkan emoji rayuan yang dia harapkan. Setidaknya, pria itu bisa menambahkan sebuah emoji ciuman atau bentuk hati dalam pesannya. Dia tidak keberatan sama sekali kalau pria itu merayunya. Cindy menggeleng, menepis khayalannya.
Usai bertemu Eddy, Cindy mengirimkan pesan ke Evi untuk bertemu. Dia harus mencari tahu tentang cincin berlian berwarna biru gemilang dijarinya. Entah kenapa Cindy merasa kalau manager karbitan itu mengetahui lebih banyak tentang kejadian dimalam gala.
Evi semakin bersemangat melaju motornya. Dia mengharapkan Cindy akan segera memutuskan pilihannya sebagai manager tetapnya. Pasalnya, dia tak menyukai Lisa. Bukan karena iri wanita jomblo itu memiliki pekerjaan yang dia inginkan, tetapi dia tidak mempercayai manager salon itu. Hatinya mengatakan kalau wanita itu bermuka dua.
Evi melangkah memasuki sebuah kafe yang terkenal itu. Kafe yang digandrungi oleh banyak anak muda seusianya. Namun tidak seperti anak muda lainnya, yang sekedar datang untuk nongkrong bareng. Mereka datang untuk sebuah pertemuan pekerjaan. Sejak dia membawa Cindy ke kafe itu, Cindy tak pernah mengajaknya ke kafe lain untuk bertemu. Dari sanalah dia tahu tentang selera Cindy yang mahal.
Evi sedikit merasa malu saat melihat Cindy sudah duduk disana menunggunya. Selama ini, dia belum bisa menandingi ketepatan waktu Cindy. Padahal tampang anak itu seperti gadis yang tak pernah tepat waktu. Dari kejauhan, Evi tersenyum melambaikan tangan ke Cindy.
"Sorry, aku telat ya?"
Cindy menggeleng tersenyum mendengar sarkasme Evi. Tentu saja Evi belum terlambat, dia hanya senang datang lebih dulu kalau menyangkut sebuah pekerjaan.
Hmm, pekerjaan apa?
Keduanya memesan cemilan dan minuman lalu Cindy mulai menginterogasi Evi tentang kejadian malam itu. Evi terkejut dengan keinginan Cindy yang tiba-tiba ingin tahu tentang kejadian dimalam gala.
"Cindy, aku sebenarnya tahu waktu kamu ditolong sama lelaki misterius itu." Akhirnya Evi membongkarnya juga. Lagipula, dia adalah managernya, tidak mungkin Evi membohonginya. Apalagi sesuatu yang menyangkut dengan dirinya.
Cindy menatap Evi tak percaya. "Jadi kamu tahu semalaman aku sama dia dikamar hotel itu?!"
Evi menggeleng takut. "Kalau soal dikamar hotel, aku nggak tahu."
Evi terdiam sejenak, memikirkan kembali apa yang ingin diucapkannya.
"Jadi, malam itu setelah kamu menolak lamaran Dewa. Kamu langsung pergi. Kamu cepat sekali menghilang dari ruangan, Aku sempat kehilangan kamu. Dewa panik waktu kamu menghilang. Semua orang panik." Sampai disini Evi berhenti. Dia mengumpulkan keberanian untuk membocorkan apa yang dia tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDYEMRELLA
FantasíaPada malam pesta ulang tahunnya yang ke sembilan belas, Cindy mendapatkan sebuah cincin misterius bermata biru. Cindy meminta managernya, Evi untuk menelusuri cincin misterius itu. Penelusuran itu membawa Evi pada kisah tragedi yang terjadi tiga aba...