Sudah enam bulan berlalu sejak Isabella dinyatakan koma. Selain kondisinya yang masih vegetatif, tak ada lagi kemajuan signifikan lainnya. Selama itu pula Thomas mengunjungi Isabella dirumah sakit. Dalam keadaan Isabella masih tertidur, terkadang Thomas menceritakan soal pekerjaannya atau kesehariannya. Seringkali Thomas melihat kedua mata Isabella yang terpejam itu bergerak, seakan wanita itu merespon ucapannya. Apalagi saat Thomas menggenggam tangan Isabella, jari-jari Isabella bergerak seperti memberikan sinyal pada Thomas.
"Isabella, aku akan kembali lagi besok." Hanya kalimat itu yang Thomas ucapkan sebelum pergi meninggalkan rumah sakit. Ditengah keputus-asaannya mencari kebenaran tentang kejadian Lorenzo dan Isabella, kunjungannya ke rumah sakit adalah semangatnya untuk terus melanjutkan. Walau dokter telah mengatakan kalau kesempatan Isabella untuk kembali hidup lagi sangat kecil kemungkinannya. Namun Thomas tak merasa putus asa, dia rela membayar semua biaya selama Isabella dirumah sakit. Dia yakin Isabella akan terbangun suatu hari nanti. Karena pada malam saat dia mendengar bisikan, itu adalah suara Isabella. Wanita itu memanggilnya untuk datang segera.
Thomas tidak bisa membuktikan kalau kematian Lorenzo dan anaknya merupakan kasus pembunuhan, akhirnya kasus itu dibekukan untuk sementara. Thomas dan kedua rekannya mengepak semua bukti dan berkas-berkas kasus Lorenzo dan Arthur.
"Apa kita akan pernah membuktikan kalau ayah dan anak ini dibunuh?" Tanya Bruno dengan raut putus asa.
Thomas hanya membisu mendengar komentar koleganya. Dia sendiri merasa kecewa karena tidak memiliki satu tersangkapun. Penyelidikan mereka tentang nenek buyutnya madam Anne, Elisa, tidak menghasilkan begitu banyak. Begitupun dengan Juliet, tidak ada satupun rekam jejak tentang gadis yang konon terkenal dengan kecantikan dan kebaikan hatinya.
"Kenapa aku berpikir kalau semua ini terjadi karena wanita itu?" Guman Chris sambil melamun.
Thomas menatap bergantian kedua koleganya.
* * *
"Evi!" Seru Alice begitu melihat mata Evi terbuka.
Evi memandang heran sepupunya. "Gua kenapa? Gua dimana?" Katanya dengan kebingungan.
"Ya tuhan, lo bikin jantungan orang aja!" Seru Evi dengan raut resah.
Alice sangat lega melihat sepupunya kembali bangun dari pingsannya, setelah tak sadarkan hampir selama dua jam. Beberapa turis yang lewat diarea sana sempat membantunya dengan memanggil ambulan. Mereka langsung membawa tubuh Evi yang tak sadarkan diri kerumah sakit.
"Elo tuh tiba-tiba pingsan pas lagi pegangan tembok rumah tua itu. Gua khawatir elo kesurupan karena pas elo jatuh, badan elo tuh kejang-kejang. Kata orang elo kena epilepsi. Kata gua sih elo kayak kemasukan arwah setan." Celoteh Evi masih dengan keresahan di ekspresinya.
Evi membisu dan hanya termangu. "Berapa jam gua pingsan?"
Alice mendengus kesal. "Dua jam tau!"
"Elo nggak kasih tau nyokap bokap di Jakarta kan?" Selidik Evi.
Alice masih menatapnya dengan kesal. "Ya nggak lah. Ntar lo disuruh pulang segera lagi."
"Cakep." Balas Evi sambil tersenyum.
Sore itu juga Evi dan Alice kembali kehotel. Begitu didalam kamar hotel, Evi langsung mengambil buku catatannya, dia menulis semua kejadian awal sebelum pingsan dan juga yang terjadi dalam mimpinya . Setelah mencatat semuanya, Evi meniti kembali semua catatannya dari awal. Dari saat dia melihat Eddy menggendong Cindy, lalu pencariannya tentang cincin misterius itu. Seingatnya, dia sama sekali tidak melihat cincin itu dalam mimpinya. Evi termenung, mencoba mengingat kembali mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDYEMRELLA
FantasíaPada malam pesta ulang tahunnya yang ke sembilan belas, Cindy mendapatkan sebuah cincin misterius bermata biru. Cindy meminta managernya, Evi untuk menelusuri cincin misterius itu. Penelusuran itu membawa Evi pada kisah tragedi yang terjadi tiga aba...