23 - Sudden Coma Syndrome

22 3 1
                                    

Evi termenung didepan layar komputer, neuron diotaknya seakan membeku karena tak mampu berpikir apapun saat ini. Begitupun dengan jarinya yang masih bergeming dipapan ketik komputer. Pencarian informasi tentang lukisan itu masih menghasilkan hal yang sama. Tentang kisah sepasang kekasih yang jatuh cinta lalu terpisah karena tak disetujui oleh ibunya si lelaki. Selain itu, tak ada lagi kelanjutan tentangnya. 

Tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor yang sama tertera dilayar ponselnya. Nomor itu sudah beberapa kali memanggil sejak dini pagi, sejak saat dia masih dirumah sakit. Dahinya berkernyit saat membaca pesan dari nomor yang tak diketahui itu. 

"Ini aku, Ika. Cindy dimana? Kamu dimana? Apa kalian bersama?"

Evi bergegas menelepon nomor tak dikenal itu. 

"Ika?" Sapa Evi ditelepon.

"Oh my god, Evi! Dimana Cindy?! Kamu dimana? Cindy belum pulang sampai sekarang! Kita semua lagi panik disini!" Teriak Ika dari seberang sana. 

Evi langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Ika, kita harus ketemu. Jangan bilang siapa-siapa kalau kita mau ketemuan." Balas Evi. 

Akhirnya mereka bertemu dikamar Evi. Evi mengeluh saat melihat Ika datang beserta rombongan geng Ganesha. Sikap masa bodo dan tidak mengikuti petunjuk adalah hal yang paling dia benci, dan dia mulai tidak menyukai Ika yang tak mendengarkan perintahnya. 

Sementara Ika segera memainkan aktingnya begitu melihat sambutan masam dari Evi. 

"Mereka maksa mau ikut. Apalagi si Santi. Aku nggak berani ngelawan dia." Bisik Ika. 

Mau tak mau Evi membiarkan geng itu masuk ke kamarnya. Tanpa menunggu lama, Evi langsung menceritakan apa yang terjadi dengan Cindy. Selama Evi bercerita, mereka hanya membisu dan bergeming dari posisinya. Apalagi saat mendengarkan bagian yang terdengar tak masuk akal. Evi menghela nafas melihat kebingungan diwajah mereka. 

"Kita jenguk Cindy kalau begitu." Suara Ika memecahkan kesunyian dikamar. 

"Dia lagi koma. Apa gunanya kita kesana?!" Balas Linda. 

Wiwi menggeleng. "Ika benar, kita harus kesana." 

Evi memandang bergantian wajah didepannya. Entah mengapa dia merasa pernah mengalami momen seperti ini. Momen dia sedang berdiskusi dengan empat wanita. Evi memejamkan matanya, mencoba fokus dengan pikirannya. 

"Kalian harus tetap bersama Cindy. Kebersamaan kalian adalah kekuatan Cindy dalam menghadapi kekuatan jahat yang ingin menyakitinya." 

Evi langsung membuka matanya. "Kalian semua .... ikut aku kerumah sakit." 

Mereka bergegas keluar kamar mengikuti Evi yang berlari kesetanan menuju garasi mobil. Sambil menyetir menuju rumah sakit, Evi mengabarkan Eddy kalau dia bersama geng Ganesha dalam perjalanan kerumah sakit. 

"Aku jelasin nanti." Ujar Evi saat mendengar suara Eddy yang kebingungan mendengar nama geng Ganesha disebutkan.

* * * 

Dirumah sakit, Eddy masih belum beranjak dari duduknya. Hatinya diliputi kecemasan dengan kondisi Cindy yang belum sadar juga. Hingga tiga jam berlalu, Evi masih belum memberikan kabar. Dia khawatir gadis itu tidak menemukan apapun. Namun sebagian kecil hatinya mengatakan kalau Evi akan menemukan jalan keluar. 

Eddy menarik nafas berkali-kali. Para pengawal yang berdiri tak jauh darinya mengawasi gerak-gerik Eddy. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan pria asing yang nampak seperti pangeran drakula itu. 

Begitu melihat nomor Evi memanggil, Eddy langsung mengangkat ponselnya. Dia bernafas lega saat Evi mengatakan dalam perjalanan kerumah sakit dan bersama geng Ganesha.

CINDYEMRELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang